Selamat Datang di Website Resmi Sekolah Menengah Atas Nurul Jadid - "Nurul Jadid untuk Indonesia"

Perempuan yang Membuatku Menggigil

 Aku tahu, kita tak boleh melakukan lebih. Percayalah, aku hanya ingin membahasankannya dengan rangkaian kata yang indah agar kamu tahu betapa apa yang aku rasakan ini begitu indah. Setelah itu, semua selesai. Kita jalani hidup ini masing-masing.

Sore itu, aku sudah duduk di sudut kafe lebih awal lima belas menit dari waktu yang kamu janjikan. Aku memesan dua es jeruk sekaligus, lengkap dengan kentang goreng dan saos pedas. Aku sangat mengenalmu sebagai perempuan penyuka jeruk, yang berbahan jeruk, dan kentang goreng. Dan pasti, dulu saat aku mengajakmu bercengkerama di kafe mana pun, kamu akan memesan es jeruk dan kentang goreng dengan saos pedas.

Jujur saja, aku tidak pernah sengaja menanam, apalagi merawat perasaan ini. Semua itu ada dan tumbuh begitu saja. Bahkan, berulang kali aku sudah mencabut hingga ke akar-akarnya, tapi percuma. Perasaan itu tumbuh kembali, tanpa kurawat pun ia terus tumbuh subur dengan daun rimbun penuh bunga nan indah.

Aku bisa apa? Aku tak bisa apa-apa. Kamu pernah mengatakan, kalau rasa itu serupa wahyu Tuhan. Ia akan datang, tumbuh, dan berkembang begitu saja. Kamu sendiri yang mangatakan itu saat kita harus melepas genggaman lantaran jauhnya jarak dan lamanya waktu yang memisahkan kita.

Sebenarnya, saat itu aku sangat ingin bertanya kepadamu, apakah benar kita harus melepas genggaman hanya lantaran jarak dan waktu, atau karena sudah ada sesuatu yang lain yang tumbuh di dadamu? Tapi aku tak bisa, kamu terlalu terburu-buru menutup teleponmu dan nomormu tak bisa lagi kuhubungi sejak itu.

“Aku punya satu pertanyaan,” kataku.

“Cukup. Tak ada yang perlu dipertanyakan lagi,” sergahmu memotong kalimat terakhirku yang belum usai. Kemudian, suaramu hilang bersama gerimis dan dingin yang membungkus tubuhku.

Kamu tentu masih ingat saat kita tak sengaja bertemu di Puskesmas. Itu pertemuan pertama kita setelah lima tahun berpisah tanpa kabar sepatah kata pun. Aku terkejut, pasti. Aku bahagia, pasti. Tapi aku bingung harus bagaimana menyapamu. Aku bisu seketika itu juga.

Kamu masih sama, tidak berubah sama sekali. Sama seperti dulu saat genggaman kita belum terlepas. 

Kamu biarkan mata indahmu itu menatapku. Aku juga biarkan mata penuh kekaguman ini menatap mata indahmu. Kita saling tatap cukup lama, kemudian berbagi senyum. Tepat sekali, seperti itu yang biasa kita lakukan. Saling bertatapan, kemudian tersenyum. 

Ah, sayang sekali, semua harus berakhir setelah lelaki yang mengantarmu itu datang menghampiri. Lelaki itu mungkin mengerti dengan bahasa tubuh kita, tapi mungkin juga tidak. Yang jelas, lelaki itu segera menarik lenganmu dan membawamu menuju salah satu gedung, yang kutahu tempat persalinan dan pemeriksaan ibu hamil.

Saat itu kita memang tak sempat bertegur sapa dengan satu kata terburuk sekalipun. Tapi bagiku, sorot tatap matamu dan senyum di bibirmu sudah cukup sebagai sapaan pada pertemuan pertama setelah sekian lama kita terpisah. Kamu masih sama seperti dulu. Mengagumkanku.

Sejak pertemuan itu, kita sering sekali bertemu. Kadang kita berpapasan di jalanan sambil menyetir sepeda motor. Kadang kita bertemu saat ada acara di lapangan kecamatan. Kadang di toko, di pasar, atau di acara-acara tertentu. Tapi, sama saja. Kita tak saling sapa, kecuali hanya saling beradu pandang, kemudian bertukar senyum, lalu kita berlalu.

Aku juga yakin, kamu masih ingat saat kita bertemu di acara sekolah, bukan reuni, melainkan acara perpisahan. Saat itu aku memang sengaja hadir ke acara perpisahan sekolah yang sudah kutinggalkan lima tahun lalu. Pikirku, barangkali ada kawan-kawan seangkatanku yang hadir juga pada acara itu sehingga bisa bertukar cerita.

Saat aku turun dari sepeda motor, tanpa sengaja, mata kita kembali saling bertemu. Kita bertahan dengan sorot pandang yang tentu kita sudah saling memahami, kemudian kita berbagi senyum seperti biasa, sebelum akhirnya lelaki itu menarik lengan kananmu dan membawamu pergi menjauh dari hadapanku. Ingin sekali aku juga memegang dan menahan lengan kirimu. Tapi tak mungkin, aku bukan siapa-siapa kamu lagi. Kamu tahu, malam itu juga aku tahu dari seorang kawan bahwa lelaki itu adalah suamimu, dan sekarang kamu sedang mengandung janin lelaki itu.

Kenapa tidak kamu kenalkan lelaki itu kepadaku? Barangkali kita bisa berbagi pandang dan senyum lebih lama dengan izin darinya. Ah, tentu itu tidak mungkin. Itu khayalanku yang sangat mustahil. Mana ada lelaki yang rela perempuannya berbagi pandang dan senyum dengan lelaki lain. Tidak mungkin.

Belum genap tiga bulan yang lalu, tepat pada malam yang temaram sebab purnama sedang berdendang. Persis pada suasana seperti malam itu juga kita pernah memadu rasa meski harus kandas karena ruang dan waktu, aku mendapatkan telepon dari nomor yang tak tersimpan di kontak ponselku, tanpa nama atau pengenal. 

Sebenarnya, malam itu aku enggan untuk mengangkat telepon karena aku sedang membuat syair indah tentang dirimu. Tapi entah kenapa, pada panggilan yang ketiga kalinya, aku tak tega untuk menelantarkannya. Aku angkat telepon itu, seketika itu juga aku sadar bahwa suara di seberang itu adalah suaramu, perempuan pemilik pandang dan senyum yang mengagumkanku.

Dari seberang, kamu memesan ruang kafe yang sedang aku bangun tujuh bulan yang lalu. Kamu bilang kalau kamu akan presentasi produk baru kepada para pelangganmu. Kamu tahu, tentu aku tak mungkin menolak permintaanmu, meski itu berupa permintaan perpisahan seperti yang kamu lakukan dulu kepadaku.

Hari itu, kamu benar-benar datang dan disusul beberapa rombongan, mungkin itu yang kamu sebut pelanggan-pelanggan produkmu. Kamu tanya pada karyawanku, aku sedang di mana. Karyawanku menjawab bahwa aku sedang ada urusan. Itu benar. Memang jawaban seperti itu yang aku perintahkan kepada karyawanku bila kamu bertanya di mana aku. 

Kata karyawanku, kamu terlihat kecewa. Sungguh, maafkan aku. Aku tidak meninggalkanmu. Aku berada di seberang jalan sedang duduk-duduk dengan es jeruk kesukaanmu. Aku mengamatimu yang sedang berbicara di hadapan para pelangganmu itu. Sungguh aku senang karena bisa menatapmu lama-lama meski dari jauh.

Aku sangat memperhatikan kamu saat berbicara, tertawa, tersenyum, dan membenarkan kerudung biru langit itu. Yang ini juga perlu kamu tahu, diam-diam aku meminta karyawanku untuk merekam kegiatanmu di kafeku itu dan aku putar ulang saat di rumah. Aku masih menyimpan rekaman itu hingga detik ini.

***


Kemarin, aku memang sengaja menghubungimu dan mengajakmu bertemu di kafe ini. Aku ingin menyampaikan rasa ini kepadamu dan tentang seorang perempuan. Soal rasa ini, aku yakin kamu sudah sangat paham, tapi tentang perempuan itu, aku yakin kamu belum tahu. Setidaknya, itu menurut pendapatku pribadi.

Aku mengenal perempuan itu tepat saat aku singgah di toko buku dekat taman kota, tempat di mana kamu menerima genggaman tanganku, kemudian kita saling bergenggaman tangan. Merasakan aliran darah masing-masing sebelum akhirnya senja memaksa kita untuk segera pulang.

Perempuan itu begitu mirip denganmu. Cara dia menatap, tersenyum, tertawa, berbicara, bahkan saat pertama kali aku bergenggaman tangan pun, semua mengingatkanku padamu. Benar-benar mirip, kecuali alisnya lebih tebal daripada alismu.

Perempuan itu yang akan segera aku sunting untuk jadi pendamping hidupku. Kamu tahu, saat aku mengatakan perasaanku kepada perempuan itu, dia menatapku. Lama. Kemudian tersenyum, persis dengan apa yang biasa kamu lakukan kepadaku.

***


“Sudah lama?” tanyamu menyapaku tiba-tiba. Aku terkesiap karena sejak tadi tenggelam dalam lamunan, tanpa memperhatikan pintu masuk kafe hingga tak tahu kalau kamu sudah datang.

“Sudah lima belas menit yang lalu,” jawabku pendek, gugup.

“Silakan duduk,” kataku seketika berdiri, kemudian menarik kursi di hadapanku agar kamu lebih mudah untuk segera duduk.

“Aku sudah pesankan minum dan camilan. Sebentar lagi pelayan akan datang,” tambahku.

“Terima kasih, tapi apa itu?”

“Es jeruk dan kentang goreng.”

“Rupanya kamu masih ingat itu.”

Aku hanya membalasnya dengan senyuman, meski sebenarnya aku ingin sekali mengatakan bahwa aku tidak pernah melupakan apa pun tentang dirimu. Semua masih aku ingat. 

“Aku ingin menyunting seorang perempuan,” kataku memulai sambil menatap lekat dua mata indahmu.

“Bagus. Aku sudah tahu,” jawabmu mengagetkanku. Aneh, kamu sudah tahu.

“Bagaimana tentang rasa kita?” tanyaku tanpa basa-basi. Dua mata indahmu melebar. Bulu mata yang lentik itu semakin membiusku. Ah, tidak. Aku sudah memutuskan untuk menikah dengan perempuan lain, bukan denganmu.

“Apa yang kamu temukan dari dua mata ini saat beradu pandang denganmu, dan dari dua bibir ini saat berbagi senyum denganmu, kamu simpan saja. Kurasa kita sudah sama-sama paham,” jelasmu. 

“Ya, kamu sudah punya suami dan aku harus menikah.”

“Perempuan yang akan kamu sunting itu saudari kembarku, yang diasuh oleh saudara ibuku. Selamat, kita akan jadi satu keluarga,” katanya sambil mengulurkan tangan menyalamiku. 

Aku terkejut mendengar penjelasanmu. Tapi anehnya, kamu tetap seperti dulu. Sambil menyalamiku, kamu membiarkan mata kita saling beradu pandang dan berbagi senyum. Cukup lama.

Malam itu, aku pulang dan segera masuk ke kamar. Aku bersembunyi di balik selimut. Aku menggigil membayangkanmu berada di dekatku saat akad nikahku dengan saudari kandungmu itu. Bagaimana caraku mengganti pandang dan senyummu dengan saudari kembarmu? Aku ingin menikahi saudari kembarmu seutuhnya, tak terkecuali tatapan mata dan senyum di bibirnya.


Sumenep, 04 April 2020


Penulis Cerpen :