Selamat Datang di Website Resmi Sekolah Menengah Atas Nurul Jadid - "Nurul Jadid untuk Indonesia"

SETELAH ORANG TUAMU TAHU DAN TAK MERESTUI (Cerpen Atiqotul Farhah)

 Cerpen Atiqotul Farhah, siswa SMP Nurul Jadid (22 Februari 2024)


Kisah panjang dan perjalanan yang rumit itu adalah cinta. Ia sanggup membuat kita kuat meradang, tapi juga merapuhkan tanpa harapan. Lalu, sepasang kekasih mana yang rela berpisah padahal mereka masih saling menggenggam erat cinta? Tak ada. Tak terkecuali sepasang kekasih itu. Mereka dipaksa sanggup bersujud di kaki kemauan orang tua. Merelakan air mata dan merengkuh sendu sendirian.

Pagi itu seolah tak akan terjadi apa-apa. Gadis itu bersiap untuk berangkat ke sekolah. Tak ada yang istimewa. Hanya kegiatan rutin yang kadang membosankan.

“Bu, ayo aku sudah siap,” kata gadis itu setengah dikeraskan. 

“Sama kakak saja ya, Nak. Ibu ada tamu,” jawab ibunya sembari menjamu tamu.

“Ya sudah, Bu. Ayo, Kak.” 

Tiba di sekolah dia tertawa riang saat melewati lorong menuju ke kelasnya. Di sana, seorang lelaki yang tak lain kekasih gadis itu sudah menunggunya.

“Good morning, Bub,” sapa lelaki itu.

“Morning too, Bub,” balasnya.

Mereka mengawali pagi dengan perbincangan manis tanpa tahu akhir kisahnya. Mereka seperti menyelami samudra cinta penuh rayuan tanpa hitungan, yang ada hanya kelembutan. Serupa bunga, hati mereka sedang mekar merekah.

“Huh, gadis itu hanya menghabiskan waktu dengan lelaki kekasihnya itu tanpa tahu aslinya ia seperti apa,” ucap teman kelasnya.

“Haha, iya. Dulu mereka kalau diejek satu sama lain bilangnya najis. Eh, sekarang cinta. Tapi, kayaknya dari keluarga lelaki enggak setuju deh. Tapi sudahlah. Doakan saja yang terbaik,” ucap temannya yang lain dengan suara amat dipelankan.

Ya, itu memang benar. Banyak guru dengan gurauan yang menjodohkan keduanya tapi keduanya selalu tak mau dan berkata, “Najis jika aku berjodoh dengannya”. Sekarang, mereka seperti dua insan yang tak mau dipisahkan.

***


Akhirnya jam pulang pun tiba. Sepasang kekasih itu berjalan berdampingan melewati lorong sekolah. Banyak siswa yang melihatnya, tapi mereka sama sekali tak peduli karena pemandangan itu sudah setiap hari mereka lihat. Hubungan keduanya sudah menjadi rahasia umum di sekolah itu. Setelah sepasang kekasih itu saling berpamitan, mereka pulang ke rumah masing-masing.

“Assalamu’alaikum. Aku pulang, Bu.” Gadis itu mengucap salam sembari mencari ibunya.

“Wa’alaikumsalam. Ibu di kamar, Nak,” jawab ibunya agak keras.

Setelah menyalami ibunya, gadis itu mencari handphone-nya untuk menghubungi kekasihnya. Ternyata, sudah ada beberapa panggilan tak terjawab dari kekasihnya.

“Bub, kamu sudah sampe rumah?” tanya gadis itu.

“Iya, Bub. Ini baru sampe,” balas kekasihnya dari seberang.

Ketika sudah pulang sekolah dan tiba di rumah, mereka memang sudah rutin saling mengabari, bahkan seringkali mengobrol cukup lama. Kebersamaan mereka di sekolah tak pernah cukup. Adai bisa memilih, mereka tentu akan memilih untuk selalu bersama.

***


Seharusnya, pagi ini masih indah, bahkan pelukan embun masih terasa meski ada terpaan hangat sinar matahari pagi. Tapi, gadis itu tampak melangkah gontai dan sayu. Rekah wajahnya yang serupa bunga kini sirna entah ke mana. Jelasnya, hubungan gadis itu dan kekasihnya sudah mulai retak dan merenggang. 

Pagi ini benar-benar tak indah lagi. Tak ada senyum sapa di antara sepasang kekasih itu. Mereka seperti orang asing, padahal kemarin kedekatan mereka seakan tak akan terpisahkan. Entahlah, jalan cinta memang panjang dan rumit.

Saat malam tiba tentu gelap menyelimuti. Begitu juga yang terjadi pada hubungan sepasang kekasih itu. Bahkan, gadis yang mulai sendu itu memutuskan hubungan dengan kekasihnya meski sebenarnya mereka masih saling menggenggam erat cinta. Mereka masih saling mencintai, tapi mereka tak berdaya dengan kegelapan yang datang menerpa tiba-tiba dan begitu kuatnya.

“Bub, kita harus sudahi hubungan ini,” ucap gadis itu sembari terisak-isak.

“Enggak. Aku enggak akan pernah mau jauh darimu. Kamu gadisku yang terakhir,” sergah kekasih gadis itu dengan cepat.

“Aku enggak kuat, Bub,” kata gadis itu dengan tangis makin menjadi-jadi.

“Kamu kuat. Bertahanlah. Kamu hanya lelah dan perlu istirahat, bukan seperti ini,” kata kekasih gadis itu meyakinkan.

“Kamu cari kebahagiaan kamu. Kita sampai di sini saja,” tegas gadis itu untuk kesekian kalinya.

“Apa alasanmu? Beri aku alasan,” pinta kekasih gadis itu.

“Anak laki-laki sejak lahir sampai mati milik ibunya. Mintalah restu ibumu untuk memilihku, tapi sepertinya ibumu tak mau kamu bersanding bersamaku. Tak apa. Turuti kemauan ibumu. Jangan pilih aku jika ibumu tak merestui. Tak apa. Aku undur diri sebab anak laki-laki milik ibunya sampai mati,” ucap gadis itu menunduk sesenggukan.

Lelaki itu hanya diam. Dia menatap tajam gadisnya yang sedang tersedu-sedu. Dia mengerti kalau itu tentu sangat menyakitkan.

“Enggak. Kita harus berjuang sama-sama. Aku berhak milih kebahagiaanku dan aku pilih kamu. Bahagiaku cuma ada padamu,” kata lelaki yang tidak mau hubungannya hancur.

“Aku mungkin akan berjuang jika hubunganku tak direstui oleh keluargaku, tapi aku tak akan mampu melawan restu keluargamu, apalagi ibumu. Kita sampai di sini saja. Carilah kebahagiaanmu pada orang lain. Tapi ingat, aku begini bukan karena kemauanku sendiri melainkan keharusan. Aku tak bisa mengemis restu dari ibumu,” ucap gadis itu tak kuasa menahan tangis.

Gadis itu diam sejenak menyeka air matanya. Kemudian berucap kembali meski masih dengan isak tangisnya.

“Bub, aku seorang gadis yang jauh dari cukup untuk orang tua seperti orang tuamu. Mungkin kau tahu, gadis seperti apa yang layak dan pantas bersanding denganmu menurut orang tuamu. Sementara aku gadis dengan banyak kekurangan,” lanjut gadis itu menunduk membiarkan bulir-bulir bening mengalir begitu saja dari sudut matanya yang indah.

“Baik, aku akan memaksa diriku untuk menerima keputusan ini. Tapi aku tidak akan mencari kebahagiaan pada siapa pun selain dirimu karena bahagiaku ada padamu. Berbahagialah kamu. Aku akan merayakan kesendirianku dengan melihatmu bahagia,” ucap lelaki itu pada gadisnya dengan suara berat dan terkesan pasrah.

“Bub, aku pun demikian. Bahagiaku ada padamu, tapi sekarang kamu harus pergi. Dan, bahagiaku juga akan hilang. Namun, yang usai di antara kita hanya hubungan, bukan perasaan,” ucap gadis itu lirih.

Benar. Tak ada yang sanggup menahan sedih dan sakit dari perpisahan sepasang kekasih yang masih saling mencintai. Yang ada, mereka hanya merawat luka tanpa kesembuhan.

“Mari berteman. Jangan sampai ada permusuhan di antara kita,” kata lelaki itu dengan suara parau berat.

“Baik. Dan, berjanjilah untuk bahagia agar semua sakit ini tak sia-sia. Sungguh aku akan munafik bila tak mengakui sakit ini. Melepasmu mungkin belum ikhlas, tapi aku akan mencoba. Terima kasih semuanya. Dari sekian banyak orang yang pernah singgah di hidupku hanya kamu orang yang bisa bikin aku sesayang ini dan ngerasain nyaman sampai aku lupa kalau manusia gampang berubah,” ucap gadis itu. Keduanya pun diam hingga gadis itu bersuara kembali.

"Jika suatu saat kamu menemukan penggantiku. Buatlah dia merasa beruntung mengenalmu dan keluargamu. Bentuklah dia seperti kamu membentuk diriku walau tak sepenuhnya, setidaknya jauh lebih baik dan sesuai dengan kemauan orang tuamu. Mengenalmu aku belajar bagaimana mengontrol emosi, mengalahkan ego, dan sedikit bersabar walaupun pada akhirnya aku menghadapi kegagalan."

“Aku akan fokus mengejar cita-citaku. Masalah pengganti biarlah aku pikirkan nanti. Selamat tinggal. I love you,” kata lelaki itu.

"I love you more, " balas si gadis sambil mematikan teleponnya. 

Malam panjang gadis itu hanya diisi dengan tangisan. Lagu Merelakanmu ikut melengkapi malam yang luka dan sedih itu.

……

Aku yang telah merelakanmu 

Karena kini aku merasa tak mampu bahagiakanmu

…..

Tanpa sadar air mata menetes. Sungguh nestapa sekali hidup gadis malang itu. Dia pun tertidur dengan mata sembab. Hanya malam dengan kesunyiannya yang menjadi selimut.

***


Pagi ini gadis cantik itu bangun lebih awal. Dia berusaha bersikap normal setelah kehilangan seseorang yang menjadi bagian dari rutinitas hariannya. Dia membuka WhatsApp-nya. Dia sadar jika hubungan itu sudah putus semalam sehingga sudah tak ada lagi yang mengucapkan good morning. 

“Nak, kenapa matamu sembab sekali?” tanya ibunya cemas.

“Enggak apa-apa, Bu. Tiba-tiba saja sembab,” jawab gadis itu berbohong.

Dia segera bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Bagaimanapun dunia harus terus berjalan. Dia menangis di lorong sekolah menuju ke kelasnya. Sekarang tak ada lagi yang menunggunya di kelas. Tak ada lagi perbincangan manis setiap pagi. 

“Kamu kenapa?” tanya teman gadis itu.

"Enggak apa-apa. Lagi ada masalah saja,” kata gadis itu mengelak.

“Bagaimana kelanjutan hubunganmu dengan dia?" tanya temannya lagi. 

"Sudah selesai," kata gadis itu dengan suara sesenggukan.

"Tetapi aku melihat sorot matamu, kamu merindukannya," kata temannya sembari melihat mata gadis itu.

"Kamu putuskan hubunganmu dengan kekasihmu itu. Dia punya simpanan. Kamu diselingkuhi. Jangan bodoh kamu," kata temannya menambahkan.

"Aku memang sudah memutuskan hubungan dengannya karena orang tuanya tak merestuiku. Tapi jika dia punya simpanan, mungkin kamu bohong karena dia sudah berjanji padaku untuk tidak bermain wanita lain," kata gadis itu menjelaskan.

"Kamu jangan bodoh ya. Jangan berekspektasi lebih pada manusia. Manusia itu tempatnya kecewa di akhir. Kamu kan enggak pernah lihat HP dia, jadi enggak usah berharap lebih lagi," kata temannya geram yang menurutnya dibutakan oleh cinta.

Memang kata-katanya mengisi jiwaku dengan aroma wangi, tapi bagaimana aku tahu apakah itu lebih dari sekadar kata-kata? Apakah kata-kata itu bebas dari tipuan?  

Tak percaya gadis itu mencari letak logis dari ucapan temannya. Ada bermacam-macam teori yang dipikirkan, tapi tak ada yang masuk akal. Hingga akhirnya sampai pada jam pulang. Gadis itu pun melewati lorong sekolah dan mendengar perbincangan temanya.

"Dia menangis tak henti karena kehilangan kekasihnya. Lebai sekali kakak kelas kita satu ini," ucap temanya yang tak pernah suka pada gadis itu.

Tapi gadis itu hanya bergumam. Manusia sering merasa sok tahu dengan kehidupan orang lain, sementara masa depan masih tersembunyi di dalam penglihatan mata. Kemudian, gadis itu langsung pulang karena pada hari itu kondisi tubuhnya kurang baik sebab dia menangis semalaman.

***


Suatu hari dia melihat mantan kekasihnya dekat dengan orang lain, sementara gadis itu masih belum mampu mengubur perasaannya.

"Segampang itu kamu melupakanku. Mana janjimu yang tak akan memiliki hubungan lagi setelah usai denganku? Ternyata itu hanyalah omongan manismu," gumam gadis itu.

Hingga enam hari pun terlewati dengan malam panjang yang diisi dengan tangisan di penghujung malam. Siang malam gadis itu membuat puisi tentang kekasihnya. Dia gemar melantunkan puisi-puisinya sendiri dengan harap ada angin atau awan yang menyampaikan pada kekasihnya. Gadis itu tampak kurus sebab selalu menangis penuh kegetiran yang membakar dirinya sendiri dalam kedukaan.

Dia memang tetap bersekolah. Tapi, hari itu dia tidak ingin pulang. Dia ingin menenangkan diri ke pantai. 

Gadis yang asmaralana itu seperti arutala. Dia menghidupkan lagu berjudul Rahasia Hati. 

. . . . . . .

Bila aku harus mencintai 

Dan berbagi hati itu hanya denganmu 

Namun bila kuharus tanpamu 

Akan tetap kuarungi hidup tanpa bercinta 

. . . . . . . .

Desiran ombak mengingatkannya pada sang kekasih. Gadis itu memang menyukai pantai, apalagi dia memang memiliki keinginan ke pantai bersama mantan kekasihnya, tetapi hubungan itu kandas lebih cepat.

“Huh, ternyata kita butuh pasangan yang excited mendengarkan cerita kita ketika kita memiliki masalah,” gumamnya lirih memecah desiran ombak dan angin. 

Ya, gadis cantik itu memang suka bercerita tentang hari-harinya pada sang kekasih, tapi sekarang tak lagi. Dia tahu bahwa sang kekasih bukan miliknya lagi.

Sore pun tiba. Matahari hampir terbenam, tapi gadis itu belum beranjak dari tempatnya.

Gadis itu bingung menafsirkan tentang apa yang terjadi? atau sebenarnya apa yang salah dari dirinya? 

“Cinta hanyalah permainan perasaan yang akan hilang perlahan seperti masa remaja yang datang sebentar. Waktu akan musnah, tetapi tidak dengan cinta sejati. Segalanya mungkin angan-angan dan omong kosong belaka, tetapi tidak dengan cinta." Dia terus saja bergumam dengan dirinya sendiri. 

Saat gadis itu beranjak pulang, dia terjatuh dan berkata. 

"Apa yang harus aku lakukan? Bub, datang dan genggamlah tanganku. Peluk erat tubuhku. Aku tak tahan lagi di dunia yang menyakitkan ini," ucap gadis itu menangis lirih.

Dia jatuh berlutut di tanah berkali-kali. Jiwanya putus asa mencari kebahagiaan. Anggur telah tumpah. Gelas telah lepas dari genggaman, pecah berkeping-keping dari kebahagiaan hanya kenangan yang tertinggal dengan ingatan yang tajam bisa menyebabkan luka mendalam.

Ya, pada dirinya yang terdalam, sampai sekarang gadis cantik itu masih ingin berada di pelukan kekasihnya, bercerita panjang tentang kesehariannya, tertawa untuk mengekspresikan rasa bahagianya, dan berusaha untuk mewujudkan impiannya untuk bahagia.

“Tuhan, aku bintang yang kehilangan arah karena rindu ingin menatapmu. Anak kecil yang haus dalam mimpinya mungkin akan melihat tangan mengulurkan cangkir emas, tetapi ketika dia bangun, apa yang tersisa? Yang bisa dilakukannya hanyalah menyesap jarinya untuk menghilangkan dahaga," gumamnya pada kesunyian. 

Kalimat itu cukup menggambarkan gadis cantik polos yang menderita karena tak bisa menemukan kebahagiaan yang dicarinya. Sungguh dia tak tahu arah meski dia masih tahu jalan menuju rumahnya.

***


“Kenapa kau tak pernah tertawa riang, Nak?” tanya ibunya makin penasaran.

“Air matalah yang menjadi penyebabnya. Gelak tawa menjadi sumber derita. Bila aku tertawa itu seolah petir dan guntur yang tergerai ketika memecah awan,” jawabnya pilu.

“Katakan pada Ibu, Nak. Pedang mana yang melukaimu,” tanya si ibu dengan rasa khawatir pada anak gadisnya.

"Biarlah pedang itu melukaiku sebagai mana awan menelan rembulan. Jiwaku telah jatuh ke dalam pelukan api. Dan, sekalipun harus sakit terbakar di dalamnya, aku tidak memedulikannya,” jawab gadis itu.

Akhirnya gadis itu mencoba menerima takdir untuk bisa mengikhlaskan kekasihnya. Kesedihan memberinya jalan menuju kebebasan dari belenggu keangkuhan.

***


Esoknya gadis itu pergi ke pantai bersama temannya. Desiran dan deburan ombak terdengar riuh. Dia menatap lurus pada ombak yang berlarian serupa sepasang kekasih yang sedang berkejaran. Memang tak sulit membayangkan keindahan meski nyatanya dia berada dalam pelukan luka yang sangat menyakitkan.

"Enggak nyangka ya, raut wajah yang indah dan tutur kata yang lembut bisa memberi trauma sedalam ini dan begitu perih,” ucap gadis itu pada temannya. 

Akhirnya, gadis itu mengetahui perilaku mantan kekasihnya di belakangnya. Janji bahwa sang kekasih tak akan mendua hanyalah penenang. Sebelum perpisahan yang dipaksa itu terjadi, kekasih gadis itu sebenarnya sudah berselingkuh dan sekarang sudah genap sebulan.

"Ya gitu. Lu sih bodoh mau ditipu cowok kaya dia," balas temannya.

"Aku ingin berhenti mencintainya, tapi aku kalah dengan ego ini yang masih mengharapnya," jelas gadis itu.

Sang teman tak membalas. Dia memutar lagu kesukaannya.

. . . . . .

Sesungguhnya aku 

Tak sanggup tanpamu

Tapi tahukah kamu

Betapa kumencintaimu dirimu

Tak sanggup kumelawan hatiku 

yang selalu menginginkanmu 

. . . . . . 


Lirik lagu berjudul Tapi Tahukah Kamu? mengingatkannya pada sang kekasih. Terpaksa dia harus pergi padahal masih ada rasa cinta di antara keduanya. Itu sangat menyakitkan. Tapi, apa dia sanggup merayu orang tua kekasihnya demi sebuah restu cinta mereka? Ah, sepertinya itu mimpi.

Tapi, semua yang terjadi kemarin cukup untuk dijadikan pelajaran karena tidak ada yang namanya sia-sia. Kita sebenarnya selalu tumbuh tanpa kita sadari. Gadis itu pun akhirnya terus berusaha berdamai dengan banyak hal yang tak bisa diubah dan tak bisa dia paksakan.

Deburan ombak membuatnya merasakan ketenangan. Gadis itu menangis tak henti hingga matanya mulai membengkak. Setiap kali dia mengingat kenangan indah dengan sang kekasihnya, pasti ada buliran bening keluar dari sudut matanya. 

Hubungan dengan kekasihnya itu bukanlah waktu yang sebentar, bahkan sampai detik ini nama kontak mantan kekasihnya masih dengan nama Lastlove. Gadis cantik itu menginginkan cinta terakhir dengan kekasihnya.

“Kenapa begitu sulit mengubur cerita kita? Mengapa selalu muncul kisah indah itu dan tak mau berakhir? Kenapa?” gumamnya pada laut sembari menatap gelombang ombak yang begitu mesra.

***


Apa yang ada di dunia ini memang ditakdirkan untuk berubah-ubah, tak terkecuali dengan hubungan sepasang kekasih. Tiba-tiba jauh. Tiba-tiba dekat. Tapi tentu sangat sulit mengubur rasa bagi sepasang kekasih yang masih saling mencinta sementara mereka masih tak terpisah oleh jarak. Bahkan, setiap hari ada pertemuan. Rasanya, perasaan itu akan sangat sulit terkubur.

Begitu yang terjadi pada sepasang kekasih itu. Gadis itu dan mantan kekasihnya selalu disatukan oleh waktu dan tempat, meski hubungan mereka sudah kandas. Dan, tentu saja mereka harus berperang melawan rasa dalam dirinya yang kadang meluap-luap. Bahkan, tak jarang tanpa sadar mereka kembali tenggelam dalam romantika.

“Kenapa melupakanmu begitu sulit?” gumam gadis itu.

“Kenapa kamu menatapku seperti itu?” tanya mantan kekasih gadis itu.

“Engak apa-apa,” jawabnya sembari memalingkan wajah yang sebenarnya masih ingin saling bertatap lebih lama.

Kemudian, gadis pun menenggelamkan dirinya ke samudra sunyi. Dia putar lagu rindu sebagai pengiring.

. . . . .

Setiap ingat dirimu rasanya ingin kembali 

Mungkin ingin bertemu masih ada 

Ingin memeluk masih ada 

Tapi sayang kini tak bisa kau telah memilih dia

Mungkin saat hatiku masih sayang 

Salahku memutus cinta 

Dan kini ku menyesal 

Rindu hanya dalam hati

. . . . . 


Setelah jam pelajaran usai, seorang lelaki dari pojok kelas datang menghampiri gadis itu. Dia sahabat dekat mantannya.

“Kamu kalau mau balikan sama dia enggak apa-apa, tapi jangan terlalu setia," ucap lelaki itu mengejutkannya. 

“Balikan dengannya seperti meminum racun kedua kalinya. Lagipula orang tuanya sungguh tak mau dia bersanding denganku," jawab gadis itu seketika sembari membenarkan kerudungnya.

"Ya juga. Tadi aku bertanya pada teman sebangku mantanmu itu, jika dia kembali padamu maka dia akan diberangkatkan ke pondok,” jelas lelaki yang menghampirinya tampa diundang itu.

“Ya, aku tahu. Keluarganya memang sungguh tak mau jika dia bersamaku. Sepertinya, mereka memang tak ragu untuk memisahkan anaknya denganku,” jawab gadis itu sambil melamun mengingat kenangannya dengan sang kekasih.

“Perjalanan kisah indah kita ini memang terhalang restu orang tuanya. Aku tak tahu, sebesar apa keburukan dan kekuranganku hingga orang tuanya menganggapku tak pantas bersamanya," lanjut gadis itu sembari menunduk menyembunyikan air matanya yang hendak jatuh.

“Tapi dia ingin kembali padamu,” timpal lelaki itu kembali. 

“Sepertinya begitu. Tapi apa itu bisa terjadi? Kamu tahu, dari kisahku sendiri ini, aku belajar bahwa jatuh cinta paling kejam bukan jatuh cinta beda keyakinan, tapi jatuh cinta terhalang restu orang tua,” kata gadis itu menutup perbincangan.

***


Malam sungguh panjang bagi para pecinta. Mereka tak ingin kebisingan siang melenyapkan, meski itu hanya mimpi. Bahkan mungkin hanya berupa khayalan belaka. Tapi perjalanan cinta memang panjang dan rumit bagi gadis itu.

“Kamu masih nunggu aku, kan? Ayo kita kembali. Kita perbaiki semuanya bersama-sama,” kata mantan kekasih gadis itu.

“Tidak. Aku memang menginginkanmu kembali, tapi lebih baik kamu cari dan temukan perempuan yang pantas dan sesuai bersanding denganmu menurut orang tuamu,” balas gadis itu tanpa ragu meski harus menahan sesak.

“Tapi aku ingin kembali padamu,” balas mantan kekasihnya dengan terbata-bata.

“Orang tuamu tak merestui kita. Saat ini aku mencoba menerima keputusan itu. Bukan karena aku tak ingin berjuang, tapi aku sadar anak laki-laki milik ibunya sampai mati,” ucap gadis itu. 

“Apakah kau sudah tak mencintaiku lagi?” tanyanya pada gadis itu tak percaya.

“Aku tidak munafik. Aku memang masih mencintaimu, tapi sekarang aku tak mau terbirit-birit mengejarmu karena kamu belum bisa menyelesaikan dirimu sendiri dengan orang tuamu sendiri,” jawab gadis itu dengan lugas, dan kemudian menyadarkan gadis itu dari alam mimpinya.

Dia kembali menangis. Ternyata malam telah membawanya begitu jauh dan tenggelam pada kesunyian yang menyedihkan.

***


Memang benar, ketika sepasang kekasih saling mencintai maka cinta itu adalah miliknya bersama. Mestinya, sepasang kekasih itu yang saling topang mempertahankan dan memperjuangkannya. Tapi, sungguh tak adil bila cinta hanya dibebankan pada salah satu pasangannya saja. Cinta memang butuh perjuangan, tapi bukan perjuangan sendirian, melainkan bersama. Karena, cinta itu milik bersama.

“Kenapa kamu tak memperjuangkan restu orang tuanya?” tanya teman gadis itu penasaran.

“Berjuang sampai muntah darah sekalipun jika bukan aku yang diinginkan maka bukan aku yang akan menjadi bagian keluarganya. Aku tak bisa mengemis jika hanya sekadar direstui dan diterima. Itu hanya membuatku rendah. Apalagi, bila aku harus berjuang sendirian,” jawab gadis itu dengan wajah penuh kecewa.

“Maksudmu? Apakah kamu dibiarkan berjuang sendirian oleh mantanmu itu?” tanya temannya kembali untuk memperjelas.

“Entahlah. Menurutmu, apakah pantas lelaki seperti mantanku itu mendapatkan perjuangan dari gadisnya?” balas gadis itu tanpa berpaling sedikitpun pada temannya. Tatapannya lurus ke lautan luas di depannya.

“Ah, itu pertanyaan sulit untuk aku jawab. Tentu kamu lebih tahu,” jawab teman gadis itu yang heran dengan pertanyaan itu.

Gadis itu pun terdiam. Dia masih menatap lurus ke ujung laut yang seakan bermesraan dengan langit. Gadis itu membiarkan angin menyapu wajahnya dengan leluasa. Tiba-tiba, dia berpaling menatap temannya dan berkata.

“Kadang, lelaki itu seperti malaikat di hadapan orang tuanya karena keberpihakannya, tapi bagi kekasihnya dia tidak lebih dari pecundang yang kalah sebelum bertempur di medan perang.” 

“Tapi kau tentu tahu, tidak ada orang tua yang ingin anaknya menderita, apalagi seorang ibu?” balas teman gadis itu.

“Kamu benar. Setiap orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya, tapi kadang orang tua tidak melakukan yang terbaik untuk anaknya. Orang tua kadang hanya tahu keinginan dan tujuannya sendiri tanpa tahu jalan dan cara mencapainya. Tapi entahlah dengan apa yang dilakukan orang tua mantanku itu,” ucap gadis itu dengan wajah serius dan dingin.

Teman di sampingnya terkejut mendengar kalimat itu. Dia merasakan ada getaran kesadaran yang berbeda pada diri gadis di sampingnya itu. Gadis itu mendapatkan kesadaran baru dari kisah cintanya yang berantakan itu. 

“Sekarang aku sadar. Bila yang kita genggam itu benar-benar cinta, tentu kita akan saling menjaga dan menyempurnakan. Saling membenahi dan memperbaiki. Saling berbagi dan mengisi. Tapi bila tidak, maka kita akan saling menjatuhkan atau membiarkan pasangannya terjatuh begitu saja. Aku tak tahu, rahasia apa yang Tuhan sembunyikan dariku. Tuhan tumbuhkan cinta dalam dada ini, kemudian kegelapan datang menghancurkannya,” lanjut gadis itu sembari membiarkan senyumnya merekah dan getir menghias bibirnya.

Kini, gadis itu melenggang bebas di bibir pantai. Sesekali ombak yang berkejaran datang menciumi kedua kakinya, kemudian menghapus jejak-jejaknya, seperti dirinya menghapus jejak-jejak kekasihnya. Perjalanan cinta memang panjang dan rumit. Tapi, kadang itu menjadi pemicu kesadaran baru dan mendewasakan. 

Gadis itu terus berjalan merayakan akhir dari perjalanan cintanya. Dia membiarkan tubuhnya dipeluk angin dan dikecupi cahaya matahari sore sebelum kembali ke peranduannya.


Profil Penulis :

Atiqotul Farhah akrab dipanggil Faroh.
Lahir di Sumenep, 13 Agustus 2009. Sekarang ia duduk di kelas 9 Di sekolah SMP Nurul Jadid Batang-batang. Kalian dapat berkenalan dengan penulis melalui WA: +62 831-9399-2623 dan TikTok: @glxssy.frr