Selamat Datang di Website Resmi Sekolah Menengah Atas Nurul Jadid - "Nurul Jadid untuk Indonesia"

LELAKI ITU INGIN KEMBALI (Cerpen Atiqotul Farhah)

  Cerpen Atiqotul Farhah, Alumni SMP Nurul Jadid (3 Juli 2024)


Wanita mana yang tetap mau membuka hati pada lelaki yang telah mengkhianatinya dengan sangat kejam? Mungkin ada, tapi aku tidak. Wanita mana yang rela dibodohi saat hubungannya sebenarnya baik-baik saja? Sebagian mungkin mempertahankan, tapi tidak denganku. Aku akan meninggalkan lelaki seperti itu dalam sunyi dan gelap, meski aku harus lari terbirit-birit.

Waktu itu aku memang gagal meyakinkan dan memantaskan diri untuk menjadi wanita pilihanmu. Aku juga gagal membuatmu beruntung memilikiku dalam kebersamaan yang sangat sebentar itu. Tapi, kamu harus tahu bahwa aku tulus dan tak pernah berbohong. Aku ingin menjadi bagian penting dalam hidupmu, menemanimu meraih semua impianmu. Ah, sayang sekali kamu mengakhirinya dengan sangat kejam padaku.

Sekarang, entah apa yang membawa lelaki itu datang kembali ke hadapanku. Dia mengetuk-ngetuk dan bersimpuh di depan pintu hatiku. Lelaki itu ingin kembali. Dia memaksa masuk kembali ke dalam hatiku.

“Bub, maaf. Aku akan perbaiki semuanya. Kita mulai dari awal lagi,” katanya dengan suara berat dan sendu.

*


“Aku ingin bertanya sesuatu padamu,” kataku saat kelas hanya ada kita berdua, sembari menatap matanya yang terus berombak-ombak dan bergelombang.

“Boleh, Bub. Tanyakan saja, aku tak mau jika kau OVT hanya karena masalah sepele,” jawab lelaki di depanku dengan tatap lekat dan tajam. 

“Apakah kamu sudah berhenti bermain-main perempuan, Bub?” tanyaku pelan tanpa mau melepas matanya yang tak tenang itu. Aku sangat berharap mendapat jawaban baik meski aku harus bekerja keras untuk meyakinkan diriku sendiri.

“Ya, Bub. Aku sudah berhenti. Aku sudah berubah. Kamu wanita terakhirku. Kita harus sampai ke pelaminan. Jika tidak denganmu, maka tidak dengan siapapun,” jawabnya sembari mendekatkan pandang padaku untuk meyakinkan.

Apakah aku yakin? Entahlah. Mata berombak itu terus membawa gelombang besar dalam dadaku. Aku pun tak tahu apakah aku akan sanggup berlabuh di dermaga hatinya hanya dengan jangkar kata-kata indahnya. Tapi aku yakinkan diriku.

“Aku pegang kata-katamu, Bub,” kataku dingin dan kita masih terus beradu pandang.

“Jangan tinggalkan aku, Bub. Aku tak rela jika kamu dimiliki oleh yang lain,” tambahnya dengan nada menggemaskan. Aku sedikit menyunggingkan senyum.

“Of course, Sayang. Kata-katamu seperti a little piece of heaven. Jika tidak denganmu maka tidak dengan siapapun, tapi tampaknya kamu lebih rela melihat fotoku di buku Yasin daripada melihat fotoku di pelaminan. Bukankah begitu, Bub?” balasku sembari menikmati musik A Little Piece of Heaven sebagai pelengkap.

*


Menurut kalian, sesuatu seperti apa yang juga pantas disebut kejahatan dan kekejaman dalam sebuah hubungan? Bagiku, jawabannya, adalah tuduhan perselingkuhan dan pengkhianatan dari orang yang tulus kita cintai, padahal dirinya sendiri yang selingkuh dan berkhianat. Kekejaman seperti itu yang terjadi padaku.

“Bub, kamu ini udah dibilangin jangan dekat-dekat dia. Aku tidak suka. Dia berpengaruh buruk,” kata lelaki itu mengomel panjang lebar.

“Kata teman kelas sebelah, kalian juga sering ada di kantin berdua. Jangan-jangan kalian memiliki hubungan,” katanya enteng tanpa memikirkan perasaanku sebagai orang yang tulus padanya. Aku tak sepenuhnya tahu, bagaimana kesimpulan seperti itu muncul di benaknya. 

“Sudah mengocehnya? Sekarang izinkan aku menjelaskan,” kataku hendak memperjelas persoalan agar tidak menimbulkan salah paham.

“Atas dasar apa kamu menuduhku memiliki hubungan dengan dia? Masalah isu yang kau dengar aku di kantin bersamanya? Ya, aku memang ada di kantin bersamaan dengan kedatangannya yang ingin membeli minum. Bukan hal sengaja aku berduaan dengannya di kantin. Kamu tak bisa melarang teman-temanmu membeli ke kantin saat ada aku. Itu hak mereka. Kita tidak memiliki wewenang untuk itu,” jelasku dengan sedikit menahan emosi.

Dia tetap menatap mataku, bahkan sangat lekat. Sepertinya dia memang enggang melepaskannya. Aku pun begitu. Mata berombak itu kian membesar menggulung gelombang dan menciptakan gemuruh di dadaku.

“Jika itu benar. Maafkan aku telah menuduhmu. Sungguh aku hanya takut kehilanganmu,” ucapnya sembari memegang tanganku dan menggenggamnya dengan amat erat.

“Aku akan berpikir dua kali untuk mengkhianatimu meski banyak di luar sana mengincar posisimu. Tapi kamu jangan berbangga. Jangan hanya karena aku sayang padamu lantas aku tak bisa meninggalkanmu saat kamu mengkhianatiku. Banyak yang mengincar posisimu. Camkan itu, Bub,” tegasku agar tak menyepelehkan.

Tapi, selang beberapa bulan setelah pertengkaran itu terjadi, akhirnya hubungan itu kandas. Aku menemukan bukti bahwa dia berkhianat kala hubungan kita baik-baik saja. Aku seperti wanita bodoh yang dibodohi lelaki bastard sepertinya.

*


“Sudah berapa lama?” tanyaku tanpa mau basa-basi.

“Haaa, apanya, Bub?” jawabnya sembari melempar pandang tak tentu. Ya, dia masih memanggilku dengan panggilan yang dibuat berdua kala itu.

“Hubungannya sudah berapa lama?" tanyaku lebih jelas. Aku sudah tak tahu harus berkata apa lagi. Padahal, aku mau dia mengakui kekejaman dari pengkhianatan itu. Lama terdiam hingga akhirnya dia menjawab.

“Maaf, Bub. Sudah lebih satu bulan,” jawabnya lesu dan lirih. 

“Fucking shit! Kamu mengkhianatiku sebelum hari ulang tahunku dan bisa-bisanya kamu memberiku kejutan pada saat ulang tahunku seolah-olah tak terjadi apa-apa.” 

Sungguh Aku makin tidak mengerti, bagaimana dia sampai melakukan pengkhianatan itu. Aku juga tak tahu seberapa kasar kata-kataku.

“Maaf, maaf. Hanya kata maaf yang selalu dilontarkan lelaki pada wanitanya setelah dia berprilaku kejam,” kataku dengan nada meninggi, “kata maafmu sama halnya dengan mengejekku,” tambahku dengan amat kecewa.

“Baik. Jika itu keputusanmu, mungkin aku yang tidak bisa memahami karaktermu yang sejak dulu gila wanita. Berkali-kali kamu membuatku kecewa dan berkali-kali juga aku memberimu kesempatan. Nyatanya, memberikan kesempatan berkali-kali kepada seseorang sama halnya memberi peluang besar untuk mengulangi kesalahan yang lebih menyakitkan dan kejam dari sebelumnya.” Aku tak bisa menahan gelombang yang terus bergemuruh dalam dadaku. Aku harus mengatakan semuanya. Setidaknya, aku tidak menanggung beban ini dalam dadaku. Aku harus puas dengan kata-kataku, meski itu tak dapat mengobati sakit dan kecewa ini.

“Maaf. Maafkan aku, Bub.” Dia hanya bisa berkata maaf dan maaf. Dia tidak mencoba memperbaiki hubungan, entah karena bosan atau karena hal lain yang membuatnya mengingkari janjinya. Dia tampak tak ingin menjelaskan mengapa mengkhianatiku.

“Aku mengalah karena takut kehilangan, tapi sepertinya kamu salah dalam menilai dan menganggap aku lemah, kemudian memperlakukanku secara buruk. Luka yang seharusnya sembuh kini kembali menganga. Hati yang tersakiti karena kelakuanmu kemarin aku coba rakit kembali dan kamu mematahkannya lagi. Apakah kamu tahu rasanya mencoba percaya lagi? Namun hanya kekecewaan yang selalu aku terima. Mana ucapanmu kala itu? Apakah itu hanya kalimat penenang?” cercaku. Dia hanya diam dan menunduk.

“Sampai di sini saja. Seumur hidup itu lama. Aku tak bisa hidup berdampingan dengan lelaki yang gila wanita. Permintaan maaf tanpa perubahan hanyalah manipulasi,” kataku menegaskan.

“Aku harus pergi meninggalkan semuanya. Meninggalkanmu dalam sepi dan sunyi. Aku tak mau teringat kembali tangan yang aku pegang erat dulu, wajah yang selalu menatapku dengan senyum yang merekah indah, suara yang lembut menyapaku. Aku harus memilih jalan lain sebab hidup harus terus berlanjut,” gumamku sembari beranjak meninggalkannya sendirian.

*


Selang tiga bulan lelaki itu mendekatiku lagi. Dia mulai menyapaku, memanggil namaku, dan tersenyum kala berpapasan. Tapi, hatiku sudah tertutup dari semua hal yang terkait dengannya. Aku tak mau mengenangnya, apalagi menghidupkannya kembali.

“Kenapa kamu berubah?” Kalimat tanya itu dengan enteng keluar dari bibir yang dulu menipuku.

“Kalau kamu bertanya kenapa aku berubah, tanyakan pada hatimu mengapa ia berpindah?” jawabku singkat.

“Kamu tak seperti dulu. Kamu banyak berubah. Mana gadis penurutku kala itu?” kata lelaki itu.

“Hapus versi lamaku di pikiranmu. Aku bukan orang itu lagi,” jelasku agar dia segera pergi meninggalkanku sendiri. 

“Ayo kita kembali. Aku sungguh merindukanmu. Maafkan kesalahanku di masa lalu. Mari buka lembaran baru,” ajak lelaki itu. Dia ingin kembali lagi padaku.

“Tidak perlu kembali. Sudut pandangku tentangmu sudah tak sama lagi, sudah banyak luka yang kamu torehkan, perlu berapa ribu lagi kamu torehkan luka ini, hah?" tanya gadis itu menatap sinis lelaki yang ada di hadapannya. Tak ada lagi adu pandang penuh rindu. Tak ada lagi tatap kasih.

“Maafkan aku. Aku khilaf. Beri aku kesempatan satu kali lagi untuk mencoba memperbaiki hubungan kita," kata lelaki itu memohon. Lelaki itu benar-benar ingin kembali padaku.

Aku pun segera beranjak mendekat padanya, sembari aku bisikkan sesuatu tepat di dekat telinganya. Sangat dekat. 

“Jangan campuri warna hitamku dengan basa-basi pelangimu,” kataku sembari meninggalkan lelaki itu yang ingin kembali padaku. Aku ingin lelaki itu dihukum penyesalan dan kesepian sampai mati.


Profil Penulis :

Atiqotul Farhah akrab dipanggil Faroh.
Lahir di Sumenep, 13 Agustus 2009. Sekarang ia lulus dari SMP Nurul Jadid Batang-batang. Kalian dapat berkenalan dengan penulis melalui WA: +62 831-9399-2623 dan TikTok: @glxssy.frr