Selamat Datang di Website Resmi Sekolah Menengah Atas Nurul Jadid - "Nurul Jadid untuk Indonesia"

PROSES ITU SAMA PENTING DENGAN HASIL ITU SENDIRI


Saat itu saya masih di pesantren. Tanpa sengaja, ketika saya shalat berjamaah di shaf terdepan, saya melihat kitab kuning dengan sampul koran. Tapi, entahlah itu kitab apa dan koran apa. Yang jelas, di sampul koran itu tertulis sebuah kalimat yang sampai saat ini tetap saya ingat. Kalimatnya sederhana, tapi cukup memotivasi. “Proses itu sama pentingnya dengan hasil itu sendiri”. Begitu tulisan di sampul koran tersebut.
Sepintas saja, kita tentu sudah paham maksud dari tulisan itu. Bahwa, ketika kita menginginkan sesuatu maka berproseslah. Sebab, proses itu sama pentingnya dengan hasil itu sendiri. Kalau kita tidak mau berproses maka itu namanya mengkhayal. Kalaupun dapat, tentu akan banyak risikonya, seperti makanan isntan atau cepat saji yang marak sekarang ini.

Saya punya seorang teman. Namanya, rahasia, hehehe. Dia seorang perempuan. Dia cantik, semangat, dan penuh percaya diri. Apakah saya mengaguminya, tentu saja. Tapi bukan karena kecantikannya, karena saya tidak begitu tertarik dengan perempuan cantik, melainkan karena prinsip hidup, semangat, dan kepercayaan diri yang dimilikinya. Tapi kalau disuruh milih, ya tetap saya pilih yang cantik, penuh semangat, dan percaya diri. Hehehe

Perkenalan saya tanpa disengaja. Saat itu sedang hujan. Saya berteduh di bekas gedung perpustakaan kampus. Tiba-tiba, perempuan itu datang dan juga berteduh di tempat saya berteduh. Jadilah, saya dan perempuan itu berdiri bersampingan. Kedengarannya so sweet. Ya, memang so sweet seperti di film-film. Hehehe

Jujur saja, saya enggan untuk berkenalan. Bukan karena sombong atau jual mahal, tapi saya takut dan benar-benar takut kalau berhadapan dengan perempuan cantik. Saya takut terpikat dengan pesona kecantikannya. Kata pepatah, tak kenal maka tak sayang. Benar, dan itu yang saya takutkan. Saya takut kalau berkenalan, nanti saya kenal dan jadi sayang. Wah, itu berbahaya. Saya sudah jauh-jauh datang dari desa ke kota istimewa dengan tujuan mencari ilmu malah dapat cewek. Namun, saya lelaki normal, tanpa berkenalan pun rasa itu juga sudah ada, hehehe.

Kembali ke pembahasan. Singkat cerita, saya pun kenal dia dan dia kenal saya. Kita pun mulai berkomunikasi baik online maupun offline. Hingga akhirnya, saya tahu bahwa dia mengambil jurusan sosiologi karena hanya itu pilihannya, tidak ada pilihan lain. Dia lulusan SMK Tata Busana. Jadi, sangat jauh dari jurusan yang diambil saat kuliah.

Dia menyampaikan keinginannya kepada saya untuk belajar sosiologi karena dia memang tidak punya gambaran sama sekali tentang sosiologi. Kemudian apa yang terjadi? Saya senang sekaligus bingung. Senang karena saya akan punya banyak kesempatan bersama perempuan istimewa di kota istimewa itu, tapi bingungnya saya mau mengajari apa tentang sosiologi kepadanya karena saya sendiri SMA jurusan sains atau IPA.

Alhasil, saya tetap menyanggupinya. Saya pulang ke kontrakan mengumpulkan buku sosiologi, bahkan saya pergi ke toko buku untuk beli buku-buku sosiologi. Saya lahap buku itu. Selama seminggu saya bisa selesaikan tiga buku. Kalau ada yang tidak dimengerti maka saya tanya kepada teman-teman saya di kontrakan. Setidaknya, saya punya gambaran tentang sosiologi.

Saya dan perempuan itu bertemu dan berdiskusi hampir setiap hari. Tepatnya sore hari setelah jam kuliah usai. Tempat pertemuan favorit saya di masjid. Bukan sok religius, tapi jaga keamanan saja. Pertama, karena saya lelaki normal dan kedua, karena dompet saya tipis kalau harus bertemu di kafe, hehehe.

Selama menemaninya belajar, saya semakin banyak mengenal perempuan itu. Dia sangat semangat. Setiap bertemu selalu meminta saya untuk membawakan dan meminjaminya buku. Atau, minta rekomendasi buku bacaan yang cocok untuk dirinya. Dia juga cepat sekali tanggap dan paham terhadap apa yang saya jelaskan. Bahkan, dia tidak segan-segan untuk bertanya bila ada yang tidak dipahami, baik penjelasan dosen di kelas, atau hasil bacaannya.

Kemudian, sesuatu yang luar biasa terjadi. Setelah nilai semester keluar, dia mendapatkan nilai tertinggi, bahkan saya kalah telak. Tapi tidak masalah, saya senang dengan keberhasilannya. Nilainya tertinggi bukan hanya saat semester satu, namun sampai semester akhir. 

Perempuan itu pun diwisuda lebih awal enam bulan dari saya. Bahkan, dia dinobatkan sebagai mahasiswi terbaik di antara ribuan mahasiswa dan mahasiswi kampus. Dia berhasil melalui semuanya dengan sempurna. Buat saya, dia memang perempuan sempurna, sempurna dalam kecantikan, semangat, prinsip hidup, bahkan prestasinya. Memang dia sedikit belajar tentang sosiologi kepada saya, tapi kemudian saya banyak belajar kepadanya tentang bagaimana menjalani hidup.

Yang membuat perempuan itu semakin istimewa, dia adalah anak yatim yang ditinggal oleh ayahnya saat gempa pada 2006 lalu. Tinggal bersama ibu dan kakak perempuannya. Setiap kali kuliah, dia membawa gorengan untuk dijual kepada teman-temannya di kampus. Dia juga jualan pulsa. Semua itu dia lakukan, katanya, untuk membantu mengurangi kebutuhan keluarganya dan untuk biaya kuliah.

Poinnya, perempuan itu memilih untuk berproses daripada meratapi takdirnya. Dia memilih belajar apa yang belum diketahuinya. Dia menjalani proses itu dengan penuh semangat dan percaya diri. Dia tidak takut malu atau minder melihat teman-temannya yang lain.

Demikian juga dalam hal menulis. Kita harus berani dan mau berproses. Namanya juga berproses, tentu saja tidak sekonyong-konyong sempurna. Tetapi, semua akan tiba atau dicapai secara bertahap. Jadi, kalau baru menulis satu dua kali, jangan langsung berharap tulisan kita bagus. Kita perlu berlatih menulis sesering mungkin untuk terus membenahi tulisan kita. 

Menulis itu keterampilan sebagaimana keterampilan yang lain, misal melukis. Kata orang, ala bisa karena biasa. Jadi, kalau kita benar-benar punya keinginan untuk dapat menulis, berproseslah. Karena proses itu sama pentingnya dengan hasil itu sendiri. Hanya itu pilihannya agar kita tidak hanya berkhayal. Taqobballah minna wa minkum. Anta maksudi wa ridaka mathluby. Aamiin.

Salam Literasi...!



Penulis Artikel :