Selamat Datang di Website Resmi Sekolah Menengah Atas Nurul Jadid - "Nurul Jadid untuk Indonesia"

AKU MEMILIH PUTUS (Cerpen Alviana)

 Cerpen Alviana, Alumni SMA Nurul Jadid (Juruan Laok).


 “Aku belum ingin menikah,” ucapku. 

Angin berembus terasa dingin sepersekian detik usai aku mengatakannya. Kak Rangga sedikit mengernyitkan alisnya, kemudian mengangguk pelan. 

Pagi ini aku sedang bersama kakakku, Rangga. Kami duduk di teras rumah sembari melihat jalan raya. Sebenarnya tidak ada yang menarik di sana. Beberapa orang berlalu-lalang dan pagi ini bisa dibilang cukup ramai. Mayoritas dari mereka memiliki tujuan untuk pergi ke pasar dekat balai desa. Pasar tersebut adalah pasar satu-satunya di kampung kami dan hanya beroperasi setiap hari jumat saja. 

“Ayah udah setuju?” tanya Kak Rangga. 

Aku paham ke mana arah pertanyaannya. Aku baru saja lulus SMA. Aku perempuan yang memiliki mimpi atas hidupku. Aku ingin sekali kuliah dan menjadi seorang guru di masa depan. Rasanya sangat menyenangkan jika menjadi perempuan yang dapat memberikan sumbangsih untuk mencerdaskan generasi bangsa ini. Menjadi bagian dari proses perjalanan sukses beberapa orang sangat indah, bukan?

Sekilas tidak ada yang aneh dengan mimpiku. Itu hanya mimpi sederhana. Banyak orang yang tentu juga menginginkannya. Barangkali dari beberapa orang di muka bumi ini mimpiku tidaklah istimewa. Tapi mimpi akan menimbulkan persepsi yang berbeda tergantung di mana pemimpi itu tinggal. 

Aku lahir sebagai perempuan di lingkungan yang mayoritas masyarakat masih belum menjadikan pendidikan itu sebagai hal yang penting. Kesuksesan bisa didapat tanpa harus mengejar pendidikan tinggi. Materi tidak hanya didapatkan dari pekerjaan yang membutuhkan gelar. Aku setuju dengan itu, tapi ada beberapa keinginan atau cita-cita yang cara untuk mewujudkannya tidak hanya dengan kualifikasi kerja keras semata. Pendidikan harus ikut andil di dalamnya. 

“Ayah membolehkannya. Tapi ada syaratnya.” 

“Apa itu?” tanya kakakku. 

“Aku harus dapat beasiswa.”

“Putra bagaimana?”

Aku terdiam sejenak mendengar pertanyaan kakakku. Putra adalah tunanganku. Aku dan dia seumuran dan sama-sama baru lulus SMA. Putra memutuskan untuk bekerja, tidak lanjut kuliah. 

“Putra mengatakan padaku akan menungguku.”

“Baiklah, aku akan berusaha untuk membantumu termasuk mengurus berkas-berkas pendaftaran. Serahkan saja pada kakakmu ini.”

Satu hal yang aku syukuri dalam hidup ini adalah aku memiliki keluarga yang sangat mendukung keinginanku. Barangkali mereka memang tidak terlalu memprioritaskan pendidikan. Mereka tidak meminta dan menuntutku untuk melanjutkan pendidikanku. Tapi ketika aku memiliki inisiatif untuk melakukannya maka mereka pun memprioritaskannya. 

Aku tidak terlahir di keluarga yang kaya. Tapi kami cukup. Ketika aku memutuskan 

untuk kuliah, itu seketika menjadi guncangan perekonomian keluargaku. Oleh karena itu, aku paham mengapa ayahku memberikan syarat agar aku mendapatkan beasiswa. Tapi aku tidak keberatan. Aku ingin hal itu menjadi motivasiku untuk belajar dengan sungguh-sungguh dan tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada. 


***


Panas matahari begitu menyengat. Menikmati segelas teh dingin dan camilan sungguh nikmat rasanya. Apalagi sambil menikmati deburan ombak pantai. 

Kampusku dekat dengan pantai. Aku sering ke sini untuk melepaskan penat setelah berpusing ria dengan tugas-tugas mata kuliah. Sering kali aku ke sini dengan teman-temanku. Namun ada kalanya aku melakukannya sendirian, seperti saat ini. 

Saat ini aku berada di tahun kedua kuliahku. Aku sangat bersyukur akhirnya bisa kuliah dengan beasiswa. Aku jarang pulang ke rumah, kecuali saat liburan panjang. Liburan kuliah di hari biasanya hanya dua hari sampai tiga hari dalam satu minggu. Hal tersebut yang membuatku malas untuk pulang. Perjalanan dari tempat aku kuliah ke kampung halamanku sekitar tujuh jam jika dilakukan dengan sepeda motor. Di sini aku tinggal di kos yang dekat dengan kampus. Hanya sekitar lima menit jika ditempuh dengan sepeda motor. 

Pikiranku tiba-tiba terlintas pada percakapan beberapa hari yang lalu. 

“Ayo menikah,” ucap Putra, tunanganku. 

Aku termangu. Masih mencerna ucapannya. Kata-katanya bagai pedang bermata dua. Aku merasa keputusanku akan sangat mempengaruhi hubungan kami. 

“Put, aku masih semester empat. Bukannya kamu dari awal sudah setuju untuk menungguku selama empat tahun?”

“Aku dari awal mencoba memahami keinginanmu. Tapi ketika aku berpikir kembali aku mulai bertanya-tanya, bukankah kamu egois Rayna?”

“Aku? Egois? Atas dasar apa, Put?”

“Teman-temanku sudah pada menikah. Bahkan di antara mereka ada yang sudah punya anak yang lucu. Sedangkan aku berapa lama lagi harus menunggumu?”

“Put, kamu jadi berubah pikiran karena teman-temanmu? Bukankah kita sudah berjanji?”

“Ray, coba kamu lihat sekelilingmu. Bukannya di lingkungan rumahmu, perempuan seusiamu hanya kamu yang belum menikah? Kamu tidak takut atau.. malu?”

Aku terdiam mendengar ucapannya. Hatiku terasa sakit. Apakah sebuah aib bagi perempuan jika seusiaku belum menikah? Aku baru berusia 21 tahun sekarang. Kenapa aku harus malu jika dalam usia tersebut belum menikah? 

Belum sempat aku menjawab pertanyaannya, Putra sudah memutuskan panggilan handphone. Aku sangat mencintainya. Tapi pantaskah aku mengorbankan semuanya demi cinta dan hubungan ini? Bagaimana mungkin dia memintaku untuk menyia-nyiakan dua tahunku di sini? 

Kami sudah bertunangan selama hampir lima tahun dari sejak kelas 1 SMA. Pada awalnya dia adalah teman sekelasku. Kami juga satu desa, tapi beda kampung. Jadi, jarak rumahku dan rumahnya bisa terbilang lumayan dekat sekitar 20 menit jika ditempuh dengan 

sepeda motor. 

Aku sudah membicarakan tentang rencana-rencanaku sejak kelas 2 SMA kepadanya. Putra sangat antusias dan mendukung. Aku sangat bersyukur kala itu. 

Apakah lingkungan dan keadaan memang sangat mempengaruhi sikap seseorang? Aku bertanya-tanya, mungkinkah dia tertekan selama ini? Sedikit ada keraguan di hatiku dalam melanjutkan pendidikanku. Lalu, aku pun mengingat kembali apa yang sudah aku lakukan selama dua tahun ini. Rasanya sangat sakit hatiku jika harus sia-sia. 

Setelah percakapanku dengan Putra selesai, aku menangis hampir semalaman. Aku seperti diambang kebingungan atas langkah apa yang harus aku ambil. Aku sangat takut menyesal di masa depan. Manakah yang harus aku sia-siakan? Cinta atau cita-cita? 


***


“Put, aku tinggal dua tahun lagi untuk menyelesaikan semuanya. Tidak bisakah kamu menunggu seperti janji awal?" pintaku. Setelah beberapa hari menghilang dan tidak mengabariku, akhirnya aku kembali bisa menghubunginya. Jarak yang jauh menjadi masalah lain bagi kami. Komunikasi kami menjadi buruk. 

“Jangan berbohong. Aku tahu kamu pasti ingin menambah satu tahun lagi untuk pendidikan profesi kan?”

“Aku tidak masalah untuk melakukannya setelah menikah. Bukannya aku sudah bilang dari awal?”

“Halahhh, ternyata sampai akhir kamu tetap egois Ray.”

“Lagi? Kamu mengatakan aku egois lagi?”

“Iya Ray. Aku rasa aku tidak bisa untuk menunggumu. Jika kamu tetap pada pendirianmu itu, ayo akhiri hubungan ini. Aku akan memberimu waktu seminggu untuk memutuskannya.”

Apa yang aku khawatirkan pun terjadi. Putra sudah memberikan ultimatum final dalam hubungan ini. Apa yang harus aku putuskan dalam seminggu? 


***


“Kami serahkan semuanya kepada kamu, Rayna. Ambil keputusan yang sekiranya kamu tidak akan menyesalinya di masa depan. Ayah dan ibu sangat tahu seberapa besar keinginan kamu dan rencana-rencana atas hidupmu. Pikirkan dengan matang.”

Itulah pesan yang disampaikan oleh ayah dan ibuku ketika aku menceritakan semuanya terkait permasalahan di antara aku dan Putra. Pesan itu menjadi oase dari rasa sakit yang membakar relung hatiku. Ayah dan ibu tidak menuntutku untuk mengikuti keputusan mereka. Mereka seakan menyadarkanku betapa berharganya mimpi-mimpiku. 

Setelah seminggu, aku akhirnya sampai pada satu keputusan yang aku yakini. Aku memutuskan untuk memprioritaskan cita-citaku. Sedangkan cinta ini biarlah menjadi saksi bisu atas perjalanan hidupku. Aku yakin waktu akan perlahan bisa menghapusnya. 

Aku membaca sebuah buku yang berjudul “The Alpha Girls Guide” karya Henry Manampiring. Ada sebuah kalimat di dalamnya yang sangat relate denganku. Kalimat itu terasa menamparku yang pernah goyah kemarin. 

“Tidak ada yang lebih bego dari mementingkan cowok di atas pendidikan/ilmu. Ilmu tidak akan selingkuh atau minta putus. Ilmu tidak akan minta kawin lagi, atau minta cerai. Ilmu akan selalu ikut kamu.”

Seminggu kemudian aku dan Putra akhirnya sudah resmi memutuskan pertunangan. Putra lagi-lagi mengatakan aku egois atas keputusanku. Selang beberapa minggu kemudian aku mendengar kabar bahwa dia menikah. Aku turut senang mendengarnya. Semoga kita sama-sama bahagia dengan jalan masing-masing.





Penulis Cerpen :

ALVIANA
Alumni SMA Nurul Jadid dan saat ini baru lulus dari Universitas Trunojoyo Madura (UTM) Bangkalan.