Cerpen Nur Aisyah, Siswa SMA Nurul Jadid (22 Januari 2025)
Libur telah tiba. Aku habiskan waktu liburan bersama keluarga di Bali. Papaku asli orang Bali dan Umiku asli Kediri. Aku dan keluargaku sebelumnya menetap di Malang tetapi karena aku sekarang liburan, jadi aku dan keluargaku memilih berlibur di Bali.
Namaku Kartika Andria Setya Wira. Kerap disapa Andria. Aku anak tunggal dari pasangan Arya Setya Wira dan Septi Diana. Ini bukan kali pertamaku di Bali. Terakhir ke sini empat bulan lalu. Aku teringat kejadian nahas itu.
"Ndri, sebentar lagi kita sampai di Bali."
"Iya, Pa."
Kami bertiga, aku, Papa, dan Umi memilih naik mobil merah kami. Saat di mobil aku teringat cerita Umi tentang mualafnya Papa.
Aku terlahir di keluarga yang berbeda agama. Papaku mualaf saat bertemu Umi. Umi beragama Islam. Aku mengikuti agama Umi. Aku belajar agama darinya karena Umi mengajar ilmu agama di salah satu pesantren di Malang. Papaku belajar ilmu agama dari Umi juga. Saat mereka masih di bangku perkuliahan.
Sebelumya Papa beragama Hindu. Mereka menempuh pendidikan di tempat yang sama, salah satu Universitas di Malang. Singkat cerita, Papa tertarik dan memendam keinginan untuk pindah agama ke Islam. Beberapa bulan kemudian dengan izin kakek dan nenek, papaku memantapkan diri untuk menjadi mualaf. Papa mengajak Umi menikah. Akhirnya keduanya pun menikah tepat pada saat Papa masih baru tiga bulan lalu mengucap syahadat.
***
Sesampainya di Bali, kami menuju rumah nenek yang berhadapan langsung dengan Pura. Aku akan berada di Bali sekitar satu bulan lamanya. Papa membuka pintu pagar rumah nenek yang berwarna cokelat itu.
"Ma, kami datang," ucap Papaku
"Masuk aja. Mama ada di dapur."
"Iya, Ma."
Kami Pun masuk dengan membawa koper masing masing.
Aku merasa seperti berada di rumahku di Malang. Aku lumayan betah berada di sini karena view-nya sangat indah. Lantai tiga rumah ini menghadap langsung ke pantai.
“Nek.”
“Ada apa, Ndri?”
“Laura di mana, Nek?”
“Laura lagi di Pasraman, Ndri.”
“Ngapain Laura di Pasraman?”
“Iya belajarlah, Andria. Dia belajar agama kami di Pasraman.”
“Ooo, baiklah, Nek.”
Selain ingin berlibur di Bali dengan tinggal di rumah nenek, aku juga ingin bermain dengan Laura. Dia sepupuku terbaik di dunia. Aku ingin mengetahui kondisi hatinya. Empat bulan lalu, kedua orang tuanya dan kakek kita meninggal karena kecelakaan saat perjalanan menuju rumah sakit untuk mengontrol kesehatan kakek. Tuhan berkehendak lain, mereka kecelakaan saat menuju rumah sakit.
***
“Arya, Dian, Andria, Laura. Makanan sudah siap. Mari makan.”
“Andria!” teriak Laura sembari berpelukan sangat erat.
“Lau, kapan kamu pulang?” Aku bertanya sambil duduk di meja makan.
“Sore tadi, Ndri. Nenek memberitahuku kalau kalian ada di sini sejak siang tadi. Aku langsung mencarimu. Tapi kamu malah tidur di kamarmu.”
“Iya maaf, Lau. Aku lelah sekali saat perjalanan ke sini.”
“Nanti kamu tidur aja di kamarku. Aku menyimpan sejuta cerita untukmu, tentang Bali.”
“Aku setuju.”
Setelah selesai makan kami berdua menuju kekamar Laura. Laura bercerita tentang kehidupannya di sini setelah kepergian mereka.
“Lau, kamu benar. Kamu tidak boleh berlarut-larut dalam kesedihan. Kamu harus bisa menerima keadaan dan melanjutkan hidupmu,” ucapku di sela ceritanya.
“Iya, Ndri.”
“Besok!” Dengan sedikit berteriak.
“Besok apa?”
“Keluarlah jalan-jalan. Kapan lagi kamu mau keluar. Masa iya, kamu di Bali cuma diam di rumah. Kamu enggak mau gitu jalan-jalan.”
“Iya, Lau. Iya." Aku hanya mengiyakannya.
***
Hari ini kamis dan aku sudah siap untuk jalan-jalan bersama Laura.
“Andria. Siap?” tanya Laura padaku.
“Yuk, jalan.”
“Oke.”
Ternyata Laura sudah memanaskan skuter putih miliknya. Setelah selesai berpamitan pada Papa dan Umi, aku dan Laura berangkat. Sepanjang perjalanan aku mulai bertanya pada Laura, kita akan ke mana.
“Btw. Kita akan ke mana dulu.”
“Jangan tanya-tanya. Lihat aja nanti.” Aku hanya membalas dengan menganggukkan kepala.
“Akhirnya sudah sampai.”
“Kita di mana ini.”
“Sebentar ya.”
Aku merasa bingung. Laura bilang padaku mau jalan-jalan. Tapi kok malah berhenti di perumahan, bukannya ke pantai atau resto.
“Ting-tong.” Laura sedang memencet bel rumah ungu itu.
Beberapa saat kemudian suara langkah kaki mulai mendekati pintu dan perlahan pintu itu terbuka dan terlihat ada gadis dengan rambut berwarna cokelat yang terurai keluar dari pintu itu.
“Laura, ayo berangkat, aku sudah siap.”
“Andria, ya.” Tiba tiba saja teman Laura menyapaku dan aku hanya menjawab iya sambil bertanya-tanya pada diriku.
“Aku Alicia. Salam kenal.”
“Salam kenal juga, Alicia.”
“Jangan kaku gitu. Panggil aja Cia. Teman-temanku memanggiku Cia.” Aku hanya menggunakan kepala tanda mengerti.
“Ayo, Lau. Berangkat sekarang,” ajak Cia.
“Oke,” jawab Laura.
***
“Andria...!”
Suara siapa itu. Aku mencari sumber suara karena memanggil namaku sambil berteriak.
“Lau. Kayaknya ada yang memanggilku tapi di mana orangnya?”
“Itu di sana." Terlihat sejumlah anak berkumpul di bibir pantai.
Kami bertiga datang menghampiri mereka.
“Lama ya. Maaf,” ucap Laura pada teman-temannya itu.
“Lumayan sih,” jawab salah satu cowok di antara mereka yang memakai atasan putih dan celana pendek abu-abu.
“Halo, Andria. Aku Mike,” ucapnya sembari mengulurkan tangan dari si baju putih celana pendek itu dan aku juga mengulurkan tanganku. Kita berjabat tangan.
“Aku Lili.” Lili yang berbaju biru juga mengulurkan tangannya.
“Aku Jonathan. Panggil aja Jo,” kata si baju oren sambil mengulurkan tangan.
“Oo, aku ya yang terakhir nih,” ucap si baju hitam.
“Halo, Andria. Aku, Dikta,” kata seorang lai sambil tersenyum lebar dan mengulurkan tangannya.
“Salam kenal ya teman-teman,” Ucapku.
Terlihat wajah mereka tersenyum ramah.
“Kami dikabari Luara, kalau sepupunya di Malang datang ke sini untuk berlibur,” ucap Mike.
“Pantes aja kalian tahu namaku dan memanggilku,” jawabku sambil sesekali tersenyum. Kami pun menghabiskan sepanjang hari di pantai ini yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah nenek.
***
Jam menunjukkan pukul lima sore. Aku tiba di rumah. Aku bertanya pada Laura tentang mereka. Laura menceritan teman-temannya itu padaku dan latar belakang mereka semua sembari masuk ke rumah.
“Senang enggak kamu di sini,” tanya Laura dengan senyum mautnya itu.
“Iya. Senang banget.”
“Besok lagi,” ajak Laura.
“Gass,” jawabku antusias.
Aku pergi ke kamar untuk bersih-bersih dan aku salat Asar terlebi dulu.
***
Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam.
“Makan malam sudah siap,” ucap Umiku yang sudah ada di depan pintu.
“Iya, Umi. Ayo.”
Setelah selesai makan aku langsung kembali ke kamar. Aku merasa kasurku memaggilku untuk istirahat.
Aku mengingat pertemuan kami di pantai tadi. Ternyata mereka tidak menyangka kalau aku seorang muslimah. Iya pastilah, karena aku kan tidak memakai jilbab seperti Umiku. Tiba-tiba Papa dan Umi memanggil video saat aku bersama dengan mereka. Aku langsung mengangkat panggilan mereka.
“Assalmualaikum, Nak,” ucap Papa.
“Waalaikumsalam, Papa,” jawabku sambil tersenyum lebar.
“Jangan kemaleman pulang ya, Ndri. Bilangin Laura jangan malem pulang,” ucap Umi.
“Siap, tanteku yang manis." Laura menjawab Umiku sambil berhormat.
“Kalian di mana kok view-nya terlihat indah,” tanya Papaku.
“Kami di pantai, Om. Aku ajak Andria ke sini. Itu liat Andria sudah akrab dengan teman-temanku.” Papa hanya membalas dengan menunjukkan kedua jempolnya.
“Ya udah. Hati-hati ya di jalan,” ucap Umiku.
“Iya. Umi.”
Aku tutup panggilan video itu. Tiba-tiba Mike bertanya padaku.
“Ndri. Kok kamu bilang Papa dan Umi.” Terlihat raut wajahnya yang terheran-heran.
“Iya. Jadi gini, Mike. Aku kan terlahir di keluarga yang berbeda agama. Jadi, dulu Papa mau anaknya nanti memanggilnya Papa bukan Abi. Sedangkan Umiku tidak mau dipanggil Mama. Dia ingin dipanggil Umi.”
“Ooo, ada-ada aja Papa dan Umimu, Ndri,” jawab Mike sambil tertawa dan menggelengkan kepala mendengar penjelasanku.
Kata Laura Cia, Mike dan Jo menganut agama Kristen. Lili beragama Hindu. Sedangkan Dikta sama sepertiku beragama Islam. Laura juga bilang dalam circle-nya ini meskipun berbeda agama mereka tetap kompak dan saling menghargai perbedaan di antara mereka dan mereka saling memahami satu sama lain. Tadi saja aku dan Dikta salat Zuhur bersama. Mereka memanggang daging yang akan kita makan nanti sembari menunggu kami selesai salat. Meraka tahu kalau aku dan Dikta seorang muslim jadi tidak sedikitpun dari mereka menggunakan daging babi dan tidak bermain dengan anjing. Mereka sudah tahu kalau dalam agama kami kedua hewan itu najis. Sesekali kami bertukar pertanyaan sembari bersantai. Kami habiskan sepanjang hari di pantai.
***
Nyenyak sekali tidurku semalam. Aku membuka tirai di kamarku. Ponselku berdering. Aku mendapat pesan dari grup “Aman”, grup kami bertuju.
“Ada Upacara Ngaben di dekat rumahnya Lili,” teks Lili dalam pesan itu. Aku melihat Laura datang menghampiriku dan mengajakku untuk melihatnya. Aku hanya menganggukkan kepala.
Aku sudah sampai di tempat upacara itu. Telihat teman-teman baruku menghampiri.
"Ternyata Ngaben adalah upacara pembakaran mayat yang dilakukan oleh umat Hindu,” ucapku sembari melihat proses upacara itu.
“Kalo di Kristen jika ada orang meninggal nantinya akan di kremasi,” ucap Mike.
“Kalo di agama Islam beda lagi. Di agama kami itu, kalo ada orang meninggal akan dimandikan dulu, lalu dipakaikan kain kafan dan dimakamkan. Mayoritas di kampungku kalo ada orang meninggal akan ditahlilkan dan dibacakan salawat burdah. Iya kan, Ndri,” ucap Dikta yang menjelaskan pada teman-teman.
“Iya, Dik. Kamu benar sekali,” jawabku.
Setelah selesai menyaksikan upacara itu, kami lanjut pergi ke pantai lagi dan lagi.
“Mungkin ini waktu yang tepat untuk membicarakan hal ini,” ucap dalam batinku.
“Oh iya. Aku sekalian mau pamit akan pulang ke Malang besok. Sudah hampir satu bulan aku di sini. Aku mau mengucapkan terima kasih kepada kalian semua karena sudah menjadi teman baikku. Aku bergabung di circle Aman dan diterima baik oleh kalian semua. Ini pertemuan terakhir kita,” ucapku.
“Kenapa cepet banget, Ndri,” tanya Cia padaku.
“Aku hanya sebulan di sini. Umiku akan kembali mengajar di pesantren dan Papa kembali kerja di kantornya. Aku sendiri akan kembali masuk ke sekolah." Aku jelaskan pada teman-temanku. Aku habiskan hari terakhir ku di pantai sembari bercerita dan bercanda dengan Aman.
***
Sesampainya di rumah aku beres-beres koperku dan mempersiapkan kepulanganku. Aku langsung tertidur karena kelelahan.
“Ndri. Bangun. Andria.” Laura sedang berusaha membangunkanku.
“Apa sih, Lau?”
“Lihat dulu dong, ini di belakangmu.”
Aku lihat apa yang terjadi di belakangku.
“K..ka..kalian….” ucapku terbata-bata dan terheran-heran.
“Halo, Andria,” ucap mereka bersamaan.
“Kamu kan nanti pulang ke Malang, kita pasti kangen dan kamu juga. Jadi ini buat kamu, Ndri,” ucap Jo sambil memberikanku kotak hadiah besar yang berwarna pink.
“Buka kotaknya kalo udah di rumah ya,” ucap Jo.
Aku hanya mengangguk kepala saja dan meneteskan air mata karena sangat terharu.
“Kami harap kamu jangan lupakan kami ya,” ucap Cia.
“Iya. Pasti,” jawabku sambil memeluk Cia, Laura, dan Lili. Sedangkan Dikta, Mike, dan Jo mereka bertiga juga saling berpelukan.
Sebelum pulang kami sarapan bersama-sama. Papa menyiapkan mobil dan memasukan koper ke mobil.
“Ayo kita berangkat,” ucap Papa sembari pamitan pada nenek.
Kami pun masuk ke mobil. Aku sudah berpamitan pada Laura dan Nenek sebelumnya. Aku pulang dengan melambaikan tangan pada mereka semua. Terlihat juga wajah mereka sedih karena kepulanganku.
“Hati-hati, Andria,” ucap teman-temanku sambil teriak dan melambaikan tangan.
“Iya.” Aku pun menjawabnya dengan berteriak.
***
Kami tiba di Malang. Aku tidak sabar membuka kotak itu dan ternyata isi kotak itu adalah kenangan yang telah kami ukir bersama. Foto-foto yang kami ambil saat bermain di Bali. Dan juga ada gelang yang terdapat kata Aman di sela-sela manik berwarna putih. Aku lihat lagi apa yang ada dalam kotak itu. Ada sebuah surat kecil yang berisi.
“Andria. Selain kamu mengunjungi kami di sini. Lain waktu kami akan mengunjungimu di sana. Ajak kami keliling Malang, Ndri. Simpan kado dari kami ini ya, Ndri.” Aku hanya mampu mengangguk kepala saja di sela isak tangisku.
Aku sangat senang mendapat teman sebaik mereka dan setoleransi mereka. Perbedaan ini tantangan, bukan penghambat.
“Semoga kita akan bertemu lagi nanti Nenek, Laura, Aman,” ucapku di sela-sela tangisan dan memeluk erat kenangan manis itu.
NUR AISYAH, siswi aktif SMA Nurul Jadid. Saat ini duduk di kelas akhir. Dia sangat tertarik pada sains, khususnya fisika.
Tulisan pada website ini merupakan bagian dari proses pendidikan peserta didik di Nurul Jadid. Apabila ditemukan kesalahan atau kekeliruan maka pengelola website ini dapat menerima pengaduan dan mencabut penayangan tulisan tersebut.
0 Komentar