Artikel oleh Edy Hermawan S.Sos. (Guru SMA Nurul Jadid)
Apakah kalian pernah mengingatkan seseorang lalu kalian dikatakan sok suci dan sok sempurna? Atau mungkin, kalian sendiri ketika ada orang yang mengingatkan lalu kalian berpikir, bahkan berkata, orang itu sok suci dan sok sempurna?
Oke, simpan saja jawabannya. Tapi, yang perlu kita pahami bahwa “mengingatkan atau menasihati” bukan soal sok suci dan sok sempurna. Tidak sesederhana itu, kecuali kita keras hati dan keras kepala, alias tidak mau menerima kebenaran.
Catat juga, bahwa kadang orang yang mengingatkan kita, dosa dan kesalahan orang itu lebih banyak daripada dosa dan kesalahan kita. Mungkin juga sebaliknya, dosa dan kesalahan kita lebih banyak daripada orang yang mengingatkan kita. Tapi, sekali lagi, persoalannya tidak sesederhana itu.
Karena, pada prinsipnya, “peringatan atau nasihat” itu bukan soal orangnya, tapi soal kesesuaian antara “peringatan” dengan “nilai dan norma” serta “fakta”. Tidak jadi soal orangnya ahli ibadah atau ahli maksiat, kalau peringatan atau nasihat itu sesuai dengan nilai dan norma serta fakta, kita harus akui, terima, dan berterimakasih. Bukan malah mencari validasi atau pembenaran, bahkan playing victim. Sekali lagi, kecuali kita keras hati dan keras kepala.
Dalam kasus ini saya punya cerita pribadi. Ini fakta, bukan fiksi. Saya sendiri secara pribadi yang mengalaminya dan itu hingga saat ini menjadi pelajaran penting buat saya. Hingga akhirnya, kejadian itu menyadarkan saya bahwa saling mengingatkan itu bukan soal orangnya, tapi soal peringatannya. Clear!
Begini ceritanya:
Kejadian itu terjadi pada malam hari, tepatnya pukul 11 malam, seorang teman cewek bertamu ke kos saya (maaf, saya tidak sebut nama cewek itu). Kos saya termasuk kos yang terbuka, meski tidak dapat juga disebut kos bebas (dalam arti cewek dan cowok dapat keluar masuk secara bebas), tapi yang jelas, di kos saya, tamu cowok dan cewek baik siang atau malam keluar masuk sudah biasa.
Cewek itu bertamu ke kos saya sekitar pukul 11 malam. Dia sendirian. Dia cewek beneran, ya tentu, dia cewek beneran, bukan cewek jadi-jadian, bahkan cantik dan dapat dikata di atas rata-rata. Tanpa dipoles dengan make up atau skincare pun, saya katakan dia sudah cantik. Alami alias natural. Soal pakaian dan tubuh? Saya pikir tidak perlu saya deskripsikan secara detail di sini, yang jelas perfect.
Tentu, saya tidak menolak. Saya terima cewek itu bertamu ke kos saya meski sudah larut malam. Saya bukakan pintu, lalu saya persilakan masuk ke kamar saya. Kebetulan, saya ngekos satu kamar untuk satu orang.
Kamar saya berhadapan dengan kamar seorang teman yang kebetulan sedang tidak di kosnya. Jadi, malam sudah sepi. Anak-anak yang ngekos sudah di dalam semua, bahkan sudah banyak yang tidur. Artinya, hanya ada saya dan cewek itu, berdua lagi di dalam kamar. Coba bayangkan, saat kalian sekamar dengan seorang cewek cantik, apa yang akan terjadi? Sepertinya, tidak ada bayangan akan tadarus Al-Qur’an berdua atau mutalaah kitab. Cukup! Hehehe
Lalu apa yang benar-benar terjadi di kos saya setelah saya memasukkan cewek ke kamar saya pada malam yang sudah larut itu? Ternyata, seorang teman yang kamarnya di samping kamar saya bangun. Dia keluar, lalu memanggil saya (maaf, saya juga tidak bisa sebut namanya). Dia belum tidur dan dia tahu kalau saya ada tamu cewek.
Saya keluar dari kamar dan menghampirinya. Kemudian, dia bilang kepada saya bahwa pintu kamar saya harus dibiarkan terbuka, tidak boleh ditutup. Dia juga akan ambil kunci dan akan tidur-tiduran di kamar kosong yang ada di depan kamar saya. Saya tanya kepada teman saya, “Kenapa harus begitu?” Jawaban teman saya, “Tidak baik menerima tamu pada waktu larut malam, apalagi hanya berdua, di dalam kamar pula. Saya kasihan ke kamu, khawatir tidak kuat menahan nafsu.”
Saya mengerti maksudnya. Dia mengingatkan dan menasihati saya dan saya akui itu benar. Cewek itu bertamu di kos saya pada larut malam hingga pagi hari, lebih tepatnya sampai waktu subuh baru pulang. Saya pun mengiyakan permintaan teman saya: pintu kamar saya tetap dibuka dan teman saya tidur-tiduran di kamar yang ada di depan saya.
Apakah kalian tahu, seperti apa teman saya yang mengingatkan dan menasihati saya itu? Dia adalah anak kos saya yang hampir setiap hari ceweknya berada di kamarnya, bahkan menginap. Bukan hanya satu atau dua malam, melainkan satu minggu. Kalau ceweknya datang, dia mengabari saya dan saya tidak boleh main ke kamarnya. Pintu kamarnya juga pasti ditutup kalau ada ceweknya.
Lantas, apakah saat dia menasihati saya, kemudian saya pantas mengatakan dia itu sok suci dan sok sempurna? Tidak. Saya tidak mengatakan itu. Saya akui kebenaran peringatan dan nasihatnya. Bahkan saya berterimakasih. Kenapa? Karena dia tidak hanya mengingatkan saya, tetapi juga menjaga saya dengan tidur-tiduran di kamar kosong di depan kamar saya. Saya dijaga betul oleh teman saya itu.
Singkat cerita, saya dan cewek itu mengobrol di dalam kamar berdua. Saya duduk di bagian barat dan dia duduk di bagian utara. Kita mengobrol hingga hampir subuh. Ketika dia pamit pulang, keluar dari kamar saya dan melajukan sepeda motornya, azan subuh berkumandang. (soal obrolan saya dan cewek itu, kalau diperlukan, saya akan cerita di lain waktu, hehehe).
Lalu, poin apa yang hendak saya sampaikan dari cerita pribadi saya itu? Saya ingin mengatakan bahwa saat kita mengingatkan atau menasihati teman, saudara, keluarga, atau murid, bukan karena kita sok suci atau sok sempurna, melainkan karena kita punya “kasih” dan “kepedulian” di dalam hati ini. Kita tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada orang yang kita nasihati, meskipun kita belum tentu juga lebih baik dari orang yang kita nasihati.
Contoh jelasnya, teman saya tersebut. Dia mengingatkan dan menasihati saya meskipun dia sendiri melakukannya. Kenapa? Karena dia “mengasihi” saya. Dia “peduli” kepada saya. Dia tidak ingin perilaku buruk yang menjadi kebiasaannya, terjadi atau dilakukan oleh saya. Apakah pantas saya menyebutnya sok suci dan sok sempurna? Apakah pantas saya melakukan playing victim padanya? Tentu saja tidak. Yang pantas saya harus dan wajib berterimakasih padanya.
So, kalau ada orang mengingatkan kita maka jangan sampai berpikir atau terbesit di benak kita bahwa orang itu sok suci dan sok sempurna. Cukup perhatikan peringatan dan nasihatnya, hargai dan berterimakasih. Sebab, orang itu punya “kasih” dan “peduli” pada kita. Kita bernilai buat mereka dan kita penting bagi mereka. Bersyukurlah. Itulah yang pantas kita lakukan. Sekian.
Taqobbalallah minna wa minkum. Wallahu a’lam.
Kamar Belakang, 04 Januari 2025
sendiri.