Cerpen Devita Yuliana, Alumni SMA Nurul Jadid (11 Januari 2025)
Jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam saat aku baru sampai di rumah. Langkahku tertatih menaiki tangga menahan tubuhku yang teramat lelah. Aku lihat pintu kamar adikku masih terbuka dan lampu masih menyala.
“Dik, masih bangun?”
“Masih, Mas.”
“Boleh masuk?”
“Masuk saja.”
Saat masuk ke dalam aku lihat Nia sedang sibuk dengan beberapa buku di hadapannya.
“Kenapa belum tidur? Ini sudah malam!”
“Masih belajar, Mas. Nia ikut olimpiade sains, lumayan hadiahnya.”
“Wah, semangat, Dik! Tidurnya jangan terlalu malam, nanti sakit.”
“Siap, Mas.”
Aku kembali ke kamarku untuk membersihkan diri dan bersiap mengistirahatkan tubuh yang teramat lelah ini. Aku rebahkan tubuhku di kasur sambil menatap langit-langit kamar mengingat perjalanan hidupku hingga sampai di titik ini.
Namaku Andre Dawson dan adikku Nia Dawson. Keluargaku dulu bisa dibilang termasuk jajaran keluarga yang harmonis. Mempunyai ayah yang sayang keluarga, ibu pengertian dan adik yang manis tentu menjadi dambaan setiap anak di dunia ini.
Tentunya aku sangat bersyukur bisa terlahir di keluarga ini. Sayangnya semua itu tak bertahan lama. Aku yang baru menginjak kelas sebelas harus menerima kenyataan pahit. Kedua orang tuaku yang pagi tadi pamit dengan senyuman khas mereka terlibat dalam kecelakaan yang menewaskan keduanya. Aku yang dulunya seorang atlet renang harus banting setir menjadi pegawai kafe agar adikku tetap lanjut sekolah sementara aku berhenti di kelas dua SMA. Tapi tenang saja, aku tak apa. Melihat senyuman adikku saat menunjukkan nilainya yang sempurna mampu membuat rasa lelahku terbayar. Mengingat kembali kejadian menyakitkan itu membuat air mataku menetes seketika. Aku hanya berharap semoga aku dan adikku tetap bersama. Selamanya.
Pagi ini aku bangun pagi-pagi buat berangkat ke kafe. Pukul setengah enam aku sudah siap dengan seragam kebangaanku. Tiba di bawah aku lihat Nia juga sudah siap dengan seragamnya. Dia sedang menyiapkan sarapan kami, berupa roti dengan selai kacang kesukaanku dan susu cokelat kesukaannya.
“Mau berangkat kerja, Mas?” tanya Nia saat melihatku menarik kursi.
“iyalah, masak mau ikut kamu ke sekolah.”
“Tumben jam segini sudah rapi?”
“Kafe lagi ada yang booking, makanya pagi. Harus siapin tempat acaranya pukul tujuh soalnya.“ Nia hanya ber-oh ria menanggapinya.
“Olimpiademu kapan, Ni?”
“Hari ini, doain ya semoga Nia menang.”
“Loh, hari ini? Ya, Mas, enggak bisa datang dong.”
“Enggak apa-apa, Mas. Ada guru kok yang dampingi, di sekolahku pula, cukup doanya saja semoga lombanya lancar dan aman.”
“Amin.”
***
Tiba di kafe segera aku menghapiri temanku, membantunya menyiapkan tempat untuk acara nanti.
Sepanjang acara berlangsung, sering sekali aku melamun sampai beberapa kali mendapatkan teguran dari temanku. Entah mengapa hari ini hatiku merasa gelisah, kadang terasa sakit tanpa sebab.
Dalam perjalanan pulang aku mampir ke toko cokelat dan bunga kesukaan Nia. Niatnya ingin memberi apresiasi atas kerja kerasnya untuk olimpiade kali ini. Selesai membeli bunga ponselku berdering. Aku lihat itu tante Mariska, ibu dari maya teman adikku.
“Halo, Tante.”
“Andre, kamu ada di mana?” jawab Tante Mariska dengan suara yang terdengar panik.
“Lagi di jalan, Tante. Memangnya ada apa?”
“Cepat ke sekolah Nia, Ndre. Tadi terjadi ledakan di sekolah. Ini Tante lagi cari maya belum ketemu juga,” hatiku tercekat, tubuhku kaku tak mampu menguasai suasana. Bayang-bayang kehilangan orang tuaku melintas seketika. Aku tersadar saat panggilan Tante Mariska mati. Aku masukkan ponsel ke kantong celanaku dan berlari dengan tangan yang memegang erat bunga dan cokelat.
Sesampainya di sana aku lihat gedung sekolah yang sebagian sudah hancur dan polisi yang sudah memagari area tersebut dengan garis polisi. Aku mulai berkeliling di antara banyaknya orang tua dan siswa, berharap menemukan wajah adikku di antara mereka. Setelah satu jam berkeliling, aku menemukan fakta baru yang membuat rasa khawatirku meningkat. Ternyata tempat diadakannya lomba olimpiade adalah tempat terjadinya awal ledakan. Aku berlari menerobos para polisi mencoba masuk ke dalam, berharap menemukan Nia di sana. Sayangnya aku dapat ditahan oleh beberapa polisi. Tentu saja aku kalah tenaga dari mereka. Aku yang sudah merasa lelah berjalan menjauh dari kerumunan dan mulai mencari di tempat sekitar sekolah, mungkin saja Nia sudah ditolong orang dan dibawa menjauh dari kerumunan. Saat sedang berjalan aku dengar seseorang memanggilku.
“Mas!”
Aku menoleh dan menemukan Nia yang sedang melambaikan tangannya di seberang jalan. Oh Tuhan, adikku selamat. Bagaikan diriku yang tersesat di gurun sahara dalam keadaan panas dan kehausan, lalu melihat sumber air yang tak jauh dariku hatiku merasa lega sekali melihatnya. Tiba-tiba terlihat Nia mulai melangkah menyeberangi jalan menuju ke arahku, tepat di tengah jalan aku melihat sebuah truk melaju dengan kencang ke arah Nia.
“Nia awas!”
Aku berteriak dan berlari mencoba menyelamatkan adikku sampai.
Brakkk!
Semuanya menjadi gelap.
***
Sial! Tubuhku terasa remuk. Aku mulai membuka mata dan melihat-lihat ke sekitar. Semuanya telah berubah. Yang aku lihat bukan lagi jalan raya, melainkan ruang tamu rumahku, dan apa ini? Kenapa aku berbaring di bawah?
“Mas, kenapa tiduran di situ?” Aku terkejut mendengar suara seseorang. Aku menoleh dan melihat Nia dengan pakaian celemeknya terlihat mengatur napasnya, berarti yang terjadi tadi hanya mimpi. Syukurlah aku tidak bisa membayangkan seandainya mimpi tadi nyata.
“Mas, kenapa sih?” Aku kembali terkejut melihat Nia sudah di depanku melambaikan tangannya.
“Enggak apa-apa, Dik. Cuma mimpi buruk,” jawabku.
“Mimpi buruk apa sih sampai jatuh segala. Televisinya itu, Mas matiin dulu,” perintah Nia sambil berjalan kembali ke arah dapur. Aku bergegas berdiri mengambil remot. Belum sempat aku pencet, terdengar berita yang mampu membuat jantungku berhenti berdetak sebentar.
“Berita hari ini, mengenang kembali peristiwa tragis satu tahun lalu, peristiwa ledakan dahsyat yang terjadi di sekolah negeri, yang menewaskan dua belas orang siswa, lima orang guru, dan tujuh orang wali murid, diduga tragedi ini terjadi karena adanya bom bunuh diri.”
Mendengar berita itu tubuhku membeku seketika. Telingaku tak mampu lagi menangkap apa yang dibicarakan presenter itu selanjutnya, hingga aku dikejutkan oleh ketukan pintu yang cukup nyaring, meski masih syok aku bergegas membuka pintu dan melihat satu orang pria dewasa. Itu kepala sekolah Nia.
Aku persilakan dia masuk. Aku bertanya-tanya ada gerangan apa dia datang kemari.
“Sebelumnya saya meminta maaf karena baru ada waktu untuk berkunjung ke rumah bapak. Yang kedua, saya meminta maaf sebesar besarnya karena belum bisa menjalani kewajiban. Saya gagal dalam melindungi beberapa siswa termasuk adik bapak yang tewas karena bom bunuh diri tersebut,” kata kepala sekolah yang meminta maaf sambil mengatupkan kedua tangannya padaku.
Seakan ditarik kembali ke dunia nyata. Aku langsung teringat mimpi itu nyata terjadi, hanya saja adikku tiada karena ledakan yang menewaskan dua puluh empat orang bukan karena tertabrak truk. Aku langsung menoleh ke arah dapur, kosong! Tak ada siapapun di dalamnya. Berarti yang tadi hanya khayalanku saja. Bagaikan air yang aku lihat di tengah gersangnya gurun sahara, tetapi saat aku dekati ternyata hanyalah fatamorgana semata. Sungguh sakit.
“Sebenarnya waktu itu lomba sudah selesai. Nama pemenang pun sudah ditentukan. Tinggal menunggu waktu pemanggilan juaranya saja. Sayangnya tuhan berkehendak lain sebelum hal itu terjadi tiba-tiba, booom! Bom itu meledak tepat di belakang. Saya selamat karena sebelumnya baju saya ketumpahan air. Makanya saya mau kembali ke ruangan saya untuk berganti baju sebentar,” lanjut Pak Kepala Sekolah. Aku hanya diam mendengarkan karena hatiku kembali bergemuruh mengingat adikku.
“Waktu itu Nia berhasil meraih juara satu, meskipun Nia sudah tidak ada, tapi hadiah ini tetap menjadi miliknya. Saya tidak akan tenang sebelum memberikannya kepada yang lebih berhak,” katanya sambil menyerahkan piala dan amplop yang aku tebak isinya adalah uang.
Setelah menyerahkannya, bapak kepala sekolah pamit pulang menyisakan kesunyian yang mulai menyelimuti tubuhku. Aku tatap kembali hadiah yang tadi diletakkan di atas meja.
“Meskipun terlambat, mimpimu telah tercapai Nia.”
Devita Yuliana, lahir di Desa Kolpo, Batangbatang, Sumenep pada Juli 2006. Menamatkan pendidikan di TK, MI, dan MTs Ta’limus Shibyan. Alumni SMA Nurul Jadid 2024. Hobi membaca dan sangat menyukai menulis. Saat ini sedang fokus menapaki dan menata masa depan impiannya.
Tulisan pada website ini merupakan bagian dari proses pendidikan peserta didik di Nurul Jadid. Apabila ditemukan kesalahan atau kekeliruan maka pengelola website ini dapat menerima pengaduan dan mencabut penayangan tulisan tersebut.