Selamat Datang di Website Resmi Sekolah Menengah Atas Nurul Jadid - "Nurul Jadid untuk Indonesia"

KENANGAN DI PASAR MALAM (Cerpen Mufidatul Aini)

Cerpen Mufidatul Aini, siswa SMP Nurul Jadid (23 Februari 2025) 



        Aku tidak pernah menyangka akan jatuh cinta kepada seorang pria yang dulu hanya aku tahu nama dan profesinya dari cerita teman-temanku. Ternyata kini dia menjadi satu-satunya penghuni hatiku.
Di pasar malam, tepatnya malam Jumat 9 Mei 2024, pertama kali aku bertemu dengannya. Saat itu aku sedang berjalan mengelilingi area pasar malam bersama keluarga dan keponakanku.
        “Ayo, kamu mau naik wahana yang mana, Dik?”
        “Adik mau naik kereta, Ma,” ungkap keponakanku itu.
        “Ya, udah. Ayo!” jawab mbakku.
        Aku hanya mendengarkan perbincangan mereka dan berjalan membuntutinya dengan keponakan yang lebih muda satu tahun dariku. Ketika kami tiba di depan wahana kereta, mataku langsung terpana kepada cowok yang sedang memegang karcis wahana itu, seperti aktor Drakor gitu, hahaha.
        Aigo, ganteng sekali. Rambut sama outfit-nya, chinese style banget. Pasti dia itu dari Mojokerto (asal pasar malam tersebut),” pikirku.
        Kemudian keponakanku menggertakku.
        “Hei! Lihat tuh, itu cowokmu,” katanya sambil menunjuk pria berpeci miring.
        “Apaan sih? Itu baru cowok kamu,” candaku sambil menunjuk pria berambut panjang berwarna pirang  dengan baju acak-acakan.
        Kemudian kami tertawa terbahak-bahak sambil berdiri sedikit jauh dari wahana yang akan dinaiki oleh keponakan kecilku.
       Karena aku terus menatapnya, kemudian dia menatapku balik dengan menyenderkan tangan di samping kereta dan menyisir rambut dengan tangannya sambil tersenyum dengan lesung pipit di pipinya. Dengan PD dan cegil ini, aku berpikir tertarik padanya sementara waktu sampai pasar malam berakhir, sekitar satu bulan, karena aku tahu kami tidak akan bertemu lagi.
          Satu jam kemudian kami pulang.

***

        Keesokan harinya aku sedang berkumpul dengan teman-teman. Aku memulai perbincangan di antara kami.
            “Eh, tahu enggak? Aku ketemu dengan cowok ganteng, terus outfit-nya mapan banget,” ucapku.
            “Di mana?” tanya temanku dengan penasaran.
            “Itu kemarin di pasar malam, terus dia jadi tukang karcis gitu,” ceritaku detail.
            “Emangnya dia jaga wahana apa?” 
            “Di kereta-keretaan,” terangku.
            “Coba ceritain ciri-ciri cowok itu, sepertinya aku kenal siapa dia,” kata temanku.
       “Em, dia putih, punya lesung pipit, enggak terlalu tinggi, tapi juga enggak terlalu pendek. Rambutnya berbelah dua kek kalau lompat tuing-tuing gitu. Pokoknya ganteng deh.”
            “Iya, bener. Dia Rian. Kakak kelas kita dulu.”
           “Hah, dia Rian? Rian yang atlet badminton yang sering kalian ceritakan itu?” tanyaku tak percaya.
            “Iya, bener. Ganteng, kan? Kamu suka Rian ya?” katanya.
            “Hehehe, aku hanya tertarik doang kok.”
            “Hahaha, enggak apa-apa sih. Orang Rian ganteng juga.”
            Beberapa saat kemudian kami menutup pembicaraan dan mengganti topik.

***

         Pada malam Jumat selanjutnya, aku dan keluargaku pergi lagi ke pasar malam karena keponakanku ingin pergi ke sana untuk naik kereta. Sesampainya di sana aku bertemu lagi dengannya. Ternyata aku masih terpana oleh pesonanya. Kini aku berdiri lebih dekat daripada Jumat kemarin karena agar lebih dekat dengannya. Setelah keponakanku turun dari kereta, kami berjalan-jalan dulu di sana dan membeli makanan lalu pulang.
        Sesampainya di rumah aku mulai terngiang-ngiang oleh wajahnya, lalu aku pun berpikir, apa aku terlanjur jatuh cinta ya? Kok aku selalu ingin bertemu dengannya? Ah, palingan hanya karena dia ganteng. 
          Malam Jumat selanjutnya aku tidak berniat untuk pergi lagi karena aku akan pergi membeli seblak dengan keponakanku. Tiba di sana, ternyata tempatnya sedang mengantre. Kata penjualnya harus nunggu paling lama sekitar satu jam. Karena pasar malam tidak jauh dari sana, aku berinisiatif pergi ke pasar malam untuk bertemu teman-temanku sambil menunggu seblak dan untuk bertemu Rian lagi, hehehe. 
       Tapi, saat tiba di sana ternyata dia sedang libur. Keinginanku untuk bertumu dengannya tidak terkabulkan pada malam itu. Akhirnya, aku pun langsung mengambil seblak, lalu pulang.
Setelah malam itu aku tidak pergi lagi ke pasar malam. Aku berniat untuk datang pada malam terakhir, malam Senin. Tetapi, pada malam Minggu sekitar pukul 20.00, temanku menelepon dan berkata.
          “Halo, kamu mau ke sini enggak?” tanyanya.
          “Kayaknya enggak. Aku ke sana besok aja,” jawabku.
          “Eh, ini ada crush-mu. Masa kamu engak mau ketemu dia?” rayunya.
          “Em, enggak apa-apa. Besok aja ketemunya,” bantahku.
          “Beneran engak mau nih? Siapa tahu besok dia enggak datang lho.”
          “Gimana ya? Pergi enggak ya?”
          “Udah, ayo sini, keburu pulang aku nih!”
          “Kan kamu udah mau pulang. Terus nanti aku sendirian.”
          “Iya enggk. Aku tungguin kamu. Makanya cepetan sini.”
          “Iya-iya, aku mau siap-siap nih.”
          “Cepet ya.”
          “Iya, iya.”
        Kemudian dia menutup telepon dan aku sibuk bersiap-siap. Setelah beberapa saat kemudian aku berangkat.

***

         Sesampainya di sana aku langsung mencari teman-temanku. Ternyata mereka ada di sebelah selatan tempat crush-ku berada dan lebih dag dig dug lagi ternyata outfit-ku dan crush-ku couple. Aku memakai baju kemeja hitam, rok hitam, dan kerudung hitam, lalu crush-ku memakai kaos hitam dan celana hitam. Kemudian temanku berbisik kepadaku.
          “Ciee, outfit-nya couple, ya?” candanya.
          “Apaan sih? Enggak kok,” jawabku dengan tersenyum malu.
          Beberapa saat kemudian aku dan temanku memutuskan untuk pergi membeli minuman yang ada di sebelah utara. Ternyata teman crush-ku mendorong dia dan kebutulan dia menghadap ke arahku. Hampir saja dia menabrakku karena dia didorong sambil tertawa maka jiwa cegil-ku ini meronta-ronta. Aku ngereog di sebelah teman-temanku sambil tersenyum sendiri dan jantungku berdetak sangat kencang.
        Beberapa menit kemudian kami selesai membeli minuman dan kami pun kembali lagi ke sebelah selatan dan tidak terasa sudah pukul 21.00. Orang tuaku menelepon, tanda aku harus segera pulang. 
          “Aku pulang duluan. Aku sudah ditelepon.” 
          “Oh iya, aku udah mau pulang juga.”
        Sebelum pulang, aku berdiri di sebelah selatan tempat crush-ku berada sambil menatapnya lama. Tap pikiranku terus membisiku, masak aku pulang tanpa punya kenangan dengannya? Aku foto aja dia diam-diam. Ah, siapa tahu aku enggak akan bertemu lagi dengannya. Lagi pula aku harus move on darinya mulai sekarang. Setelah bersusah payah agar tidak ketahuan olehnya aku berhasil mengambil fotonya dan aku bawa pulang sebagai kenangan.

***

          Beberapa bulan kemudian aku kira sudah move on darinya setelah malam itu. Ternyata tidak. Rasa itu terus tumbuh dan tumbuh. Teman-temanku sering memberi tahuku bahwa dia sering bertemu dengan crush-ku. Namun sayang tidak denganku. 
      Sejak malam itu aku sudah tidak pernah bertemu dengannya lagi. Mungkin karena tuhan tidak mentakdirkanku untuk bertemu dengannya kembali dan juga mungkin mustahil dia akan mencintaiku karena dia tidak tahu siapa aku.
        Biarlah rasa ini tetap abadi dalam diam karena dari awal ini salahku mencintai pria yang tidak kenal terhadapku. Biarlah kenangannya melekat di hatiku sampai aku melihatnya bersama dengan yang lain. Bukankah mengikhlaskan juga bagian dari mencintai? Aku juga percaya bahwa untuk bahagia aku tidak harus bersamanya.




Profil Penulis :

Mufidatul Aini, lahir di Batang Batang. Saat ini ia duduk di kelas sembilan (IX)
SMP Nurul Jadid Batang Batang. Suka membaca dan baru belajar menulis.



 
Tulisan pada website ini merupakan bagian dari proses pendidikan peserta didik di Nurul Jadid. Apabila ditemukan kesalahan atau kekeliruan maka pengelola website ini dapat menerima pengaduan dan mencabut penayangan tulisan tersebut.

0 Komentar