Artikel Sofiyatul Hasanah, Siswa SMP Nurul Jadid (18 Februari 2025)
Pacaran tentu bukan term yang asing lagi bagi remaja sekarang, bahkan
mereka yang menempuh sekolah dasar sudah mengenal istilah pacaran. Itu bukan
sesuatu yang aneh atau ganjil lagi karena memang pacaran sudah menjadi tren,
bahkan dianggap ketinggalan kalau tidak berpacaran.
Apakah kalian pernah berpacaran? Saya pikir, sebagian besar dari kalian
sudah mengalaminya. Bahkan, sangat mungkin saat ini kalian sedang menjalaninya.
Lalu, apakah pacaran kalian berjalan atau berakhir dengan bahagia? Sebagian besar
sia-sia, alias buang-buang waktu. Apalagi bagi kalian yang umurnya masih
belasan tahun dan masih berstatus sebagai pelajar, terlebih yang masih di
tingkat dasar dan menengah pertama.
Jika kita berpacaran saat masih dalam tahap menempuh pendidikan, di situlah
kita tidak akan bisa fokus pada pendidikan. Otak yang semestinya digunakan
untuk menampung, mengingat, dan memahami pelajaran yang sudah dipelajari, maka
akan kita gunakan untuk mengingat pacar kita.
Saat guru menjelaskan di depan kelas, alih-alih mendengarkan, kita malah akan
memikirkan pacar kita. Pikiran kalian akan terus bergejolak. Misalnya, nanti aku
teleponan atau enggak, ya? Dia nge-chat aku enggak, ya? Nanti harus cari
topik kayak gimana, ya? Alhasil, kita tidak akan bisa fokus pada pendidikan. Separuh
pikiran kita, bahkan sangat mungkin seluruh pikiran kita akan tertuju pada sang
pacar.
Sebagian kita mungkin ada yang beralasan, “Tapi aku juga butuh tempat untuk
mencurahkan keluh-kesahku dan tempat itu adalah pacarku”. Hei? Are you
kidding? Ada Tuhan yang selalu bersedia mendengar keluh-kesah kita. Tuhan
lebih tahu bagaimana perasaan kita ketimbang manusia lainnya. Ada Tuhan yang
selalu bersama kita. Juga, ada orang tua kita yang selalu menjadi tempat
berpulang dan yang selalu men-support kita, bukan? Intinya, masih ada
banyak jalan untuk berkeluh-kesah tanpa harus berpacaran. Pikiran itu
baik-baik.
Ada beberapa dampak negatif yang
akan terjadi ketika kita berpacaran saat masih sekolah. Pertama, kita tidak
akan bisa fokus belajar; kedua, kita akan kesulitan untuk membagi waktu
antara belajar dan bertukar pesan atau meet dengan pacar; dan ketiga,
waktu yang seharusnya digunakan untuk belajar malah kita gunakan untuk bertukar
pesan, telepon, atau bertemu satu sama lain di tempat tertentu, belum lagi
ketika bertengkar dengan pacar kita, ujung-ujungnya menjadi galau atau bahkan
putus. Hal ini akan mengganggu konsentrasi belajar kita yang akhirnya akan
mengakibatkan menurunnya nilai di sekolah. Yang terburuk, kita akan kehilangan
kesempatan untuk menggali potensi, minat, dan bakat kita karena waktu kita
habis untuk berpacaran. Percayalah, bila begitu, pacaran tidak membawa kita
menjadi lebih baik, tapi menjadikan kita hancur berantakan.
Mungkin, untuk menghindar dari yang namanya pacaran cukup sulit, apalagi
ketika melihat teman-teman di sekitar sudah memiliki pacar semua dan
memamerkannya pada kita. Di situlah iman kita sedang diuji. Kita harus kuat dan
tidak boleh tergoda. Tunjukkan pada mereka bahwa dengan tidak berpacaran tidak
akan membuat kita merasa galau atau kesepian. Justru, kita memiliki lebih
banyak kesempatan untuk menjadi pribadi yang berkualitas dan bernilai tinggi.
Saya tidak bermaksud menggurui, tapi hindarilah berpacaran saat masih usia
remaja, apalagi saat masih bersekolah. Itu akan berdampak buruk bagi diri kita
sendiri. Saat usia kita masih belia dan berpacaran, di situlah kita kehilangan
kesempatan untuk mengeksplorasi sesuatu yang menarik atau kita akan kehilangan
waktu bermain dengan teman-teman sebaya.
Henry Mampiring (2015: 36) dalam bukunya yang berjudul The
Alpha Girl's Guide, mengatakan bahwa “Tidak ada yang lebih bodoh daripada mementingkan
laki-laki di atas pendidikan. Ilmu tidak akan berkhianat, tidak akan pernah
minta cerai dan tidak akan pernah minta putus. Ilmu akan selalu ikut bersamamu”.
Kita juga tentu pernah mendengar, bahwa “ilmu tidak akan bisa dibarengi
dengan maksiat dan kesepian adalah harga yang harus dibayar”. So, jangan
terburu-buru, selesaikanlah satu persatu. Kejar pendidikan serta impian kita
dan raihlah cinta setelahnya. Cinta dan ilmu tidak bisa dikejar secara
bersamaan. Kita harus mengorbankan salah satunya. Kalau tidak, maka keduanya
akan hancur bersama-sama.
Jika kita ingin menjadi yang terbaik maka kita harus pandai memilih antara
merelakan ilmu serta pendidikan dan mengejar kemaksiatan yang tiada hentinya,
atau merelakan kemaksiatan kita dan mengejar semua impian dan cita-cita.
Seorang guru saya pernah mengatakan, “Tidak usah khawatir tentang jodoh,
kalau kamu sudah berhasil meraih impianmu dan kamu sudah menjadi high value
woman, itulah yang akan mengundang pria yang setara dengan dirimu”.
Saya harap kalian juga percaya, bahwa jodoh adalah cerminan diri kita
sendiri. And of course, semakin diri kita berkualitas maka yang datang juga akan
berkualitas. Lebih dari itu, percayalah bahwa yang hilang akan kembali lagi
jika itu sudah ditakdirkan untuk kita.
Kalian masih pelajar? Say not to pacaran! Titik!
SOFIYATUL HASANAH, biasa dipanggil Sofi. Lahir pada 08 Agustus 2010 di Sumenep tepatnya di desa Nyabakan Barat. Saat ini sedang menempuh pendidikan di SMP Nurul Jadid Batang Batang. Hobi menulis dan membaca
Tulisan pada website ini merupakan bagian dari proses pendidikan peserta didik di Nurul Jadid. Apabila ditemukan kesalahan atau kekeliruan maka pengelola website ini dapat menerima pengaduan dan mencabut penayangan tulisan tersebut.
0 Komentar