Cerpen Edy Hermawan, S.Sos. Gr, Guru SMA Nurul Jadid (19 Juli 2025)
“Perempuan itu memang hanya bisa menunggu, sangat berbeda dengan lelaki yang bisa datang dan pergi kapan saja,” kata ibu kepada bapak yang sedang sibuk menyulut rokok dan bapak hanya mengernyitkan dahi, lalu kembali menyeruput kopinya di teras rumah.
Usiaku sudah 24 tahun kurang 2 bulan. Kata orang aku sudah seharusnya menikah, atau paling tidak sudah punya tunangan. Rata-rata perempuan di desaku sudah punya tunangan di usia 15 sampai 17 tahun, atau pada saat menginjak sekolah menengah atas. Bahkan, sebagian lagi ada yang sudah ditunangkan sejak dalam kandungan.
Dulu, waktu aku baru lulus sekolah menengah pertama, bapak dan ibuku bertanya padaku, “Kenapa belum juga ada orang yang melamarmu ya, Nak?”
Itu pertanyaan aneh yang pernah aku dengar pada malam itu. Tiba-tiba saja kedua orang tuaku membahas masalah pinangan saat kami sedang duduk-duduk di teras rumah sambil menikmati purnama. Aku diam saja. Beruntung, kedua orang tuaku tidak mendesakku untuk menjawab pertanyaan aneh itu. Aku asyik saja dengan buku yang baru aku dapat dari saudara sepupuku yang baru pulang dari Yogyakarta.
Tiga hari kemudian, aku mendengar kabar kalau putri tetangga, sahabatku, Misna, anak Pak RT di sebelah timur rumahku sudah dipinang seorang pemuda dari luar desa. Bahkan, langsung nyellek temmo , tetapi ditolak karena kedua orang tuanya masih ingin Misna sekolah. Orang tuanya hanya berkenan sebatas bertunangan.
Aku mendengar kabar itu dari Bu Susi saat bicara dengan ibu di teras rumah. Aku memang sudah tidak bertemu Misna lagi sejak lulus satu minggu lalu. Misna pun tidak berkunjung ke rumah, sementara aku sendiri sibuk menghabiskan liburku di rumah dengan buku-buku yang sudah tertunda karena diganggu persiapan ujian.
Setelah aku pikir-pikir, aku sadar bahwa pembicaraan orang tuaku pada malam itu imbas dari Misna yang bertunangan. Orang tuaku khawatir, terutama ibuku, aku tidak laku, lalu jadi perawan tua dan mati perawan.
“Sebenarnya putrimu ini perempuan paling menarik dan laku di antara teman-temannya, Bu,” gumamku sambil tertawa sendiri di kamar mandi.
Orang tuaku tidak tahu dan aku sengaja tidak memberi tahu. Sudah ada banyak lelaki yang datang kepadaku. Ada yang meminta untuk pacaran, tunangan, bahkan langsung mau nikah. Tapi semuanya aku tolak. “Atas dasar alasan apa aku harus mau memenuhi permintaanmu?” Itu pertanyaan awal yang selalu aku tanyakan kepada mereka yang datang kepadaku dan jawabannya pun bermacam-macam.
Ada yang menjawab, “Aku sudah terpesona padamu saat pertemuan pertama.”
“Pertemuan kedua dan selanjutnya kamu sudah tidak akan terpesona lagi dan bosan,” balasaku.
Seorang lelaki lain berkata, “Kau perempuan yang sesuai dengan kriteriaku.”
“Kapan aku ikut kontes pencarian jodohmu?” jawabku.
Lelaki yang lain lagi berkata, “Cinta. Hanya cinta.”
“Maaf! Aku belum punya waktu walau sebatas belajar mencintaimu,” balasku.
Kata teman-temanku, itu jawaban yang terlalu kasar dan terkesan angkuh, alias arogan untuk menolak lelaki. Tapi ada seorang lelaki yang berbeda dengan yang lain dalam memberikan alasannya kapadaku.
Kata lelaki itu, “Aku sudah istikharoh dan kamulah yang terpilih. Kamu ditakdirkan untukku.”
Untuk laki-laki ini aku menjawab lebih lembut, “Maaf Pak Ustadz, saya belum siap ditakdirkan bersamamu. Saya minta kita shalat hajat untuk meminta tuhan mengubah takdir kita.”
Semua temanku tertawa terpingkal-pingkal saat aku ceritakan tentang lelaki yang terakhir itu. Apalagi dia mengatakannya di tempat yang sangat religius, di serambi masjid.
Hingga aku melanjutkan sekolah ke kota, tidak seorang pun lelaki yang datang ke rumahku untuk bertamu, apalagi meminangku. Itu karena aku selalu bilang kepada semua teman lelakiku, terlebih lelaki yang naksir berat kepadaku, mereka tidak boleh datang ke rumahku atas alasan apa pun. Aku beralasan keluargaku tidak berkenan. Tak kuduga cara itu efektif untuk mencegah mereka datang ke rumahku.
Karena aku dan orang tuaku sudah tinggal berjauhan, aku di kota dan mereka di desa, dari desa mereka selalu menelepon. Nyaris setiap menelepon, orang tuaku selalu bercerita tentang teman-temanku yang sudah tunangan. Suatu waktu, setelah mengucapkan salam dan halo, ibu mengejutkanku.
“Kamu ingat temanmu, Wati? Dia sudah mau tunangan. Katanya setelah lulus SMA mereka akan langsung menikah dan kuliah bersama. Orang tua mereka pasti sangat senang karena sudah tidak perlu khawatir lagi masalah anak perempuannya,” tutur ibu dengan suara yang sudah bisa kupahami.
Aku sudah menangkap maksud ibu menceritakan hal itu kepadaku. Beliau menginginkan aku juga segera mengikuti jejak teman-temanku, setidaknya bertunangan.
“Bapak sama Ibu tidak usah risau, aku ini belum waktunya seperti mereka,” jawabku menenangkannya setiap kali membahas atau bercerita tentang pertunangan dan pasangan hidup.
Setiap satu tahun, aku pasti pulang kampung. Tapi tidak begitu lama. Cukup setengah bulan. Itu pun jarang. Seringkali hanya satu minggu sampai sepuluh hari, kecuali setelah lulus SMA, karena masih banyak waktu kosong sebelum aku masuk universitas. Ini satu hal yang membuatku bangga kepada kedua orang tuaku, sekalipun mereka sangat menginginkan aku segera memastikan pasangan hidup, mereka sama sekali tidak mencegahku untuk melanjutkan pendidikan. Orang tuaku selalu mendukungku dalam segala hal terkait dengan pendidikanku.
Setelah lulus SMA, aku berada di rumah hampir dua bulan. Karena aku baru punya waktu lama di rumah, aku diajak berkunjung ke rumah kerabat ibu dan bapak. Aku juga sering diajak ke acara-acara di desa, seperti arisan ibu-ibu. Yang paling membuatku kesal, cara ibu memperlakukanku selama di rumah. Aku dibelikan baju-baju baru dan berbagai perlengkapan perawatan yang harganya lumayan mahal.
“Kamu harus selalu tampil segar dan cantik. Kamu anak Ibu satu-satunya,” kata ibu saat aku duduk di depan cermin. Seberapa besar penolakanku, aku selalu takluk kepada ibu.
“Ibu dan Bapak tidak sedang memasarkanmu, tapi Ibu dan Bapak hanya ingin kamu tahu dan menyadarkanmu kalau kamu bukan perempuan biasa.” Itu yang selalu ibu katakan kepadaku. Dan benar, ibu tidak sedang memasarkanku meskipun belum ada lelaki yang meminangku. Itu terbukti karena orang tuaku tidak pernah memaksaku berdandan sesuai keinginannya saat keluar rumah.
Kebetulan, pada waktu libur panjang, ada pesta pernikahan sepupuku, Sakin. Dia orang yang tidak pernah membawakanku oleh-oleh selain buku ketika pulang kampung dari Yogyakarta, tempatnya kuliah.
“Dasar kutu buku,” pikirku.
Aku memang jarang menemukan perempuan seperti dia. Perempuan yang ke mana-mana membawa buku. Dia bisa stres kalau lupa membawa buku.
“Lebih baik lupa membawa perlengkapan kosmetik daripada lupa membawa buku,” tuturnya satu tahun yang lalu saat aku liburan ke kota istimewa itu. Tapi dia perempuan yang menginspirasiku dengan kesederhanaan, kedewasaan, dan kemandirian.
“Kita harus mandiri, biar tidak diremehkan kaum Adam,” nasihatnya padaku.
***
“Kenalkan, ini sepupuku.”
Malam itu, di Pantai Parangtritis, Kak Sakin memperkenalkanku dengan seorang laki-laki. Dia tiga tahun lebih tua dariku.
Lelaki itu gegas menatapku, kemudian tersenyum sembari memperkenalkan dirinya. Aku memilih diam sebab tak tahu harus bicara apalagi.
“Hati-hati. Dia bukan lelaki baik untuk dijadikan pacar,” ucap Kak Sakin. Lalu mereka tertawa, sementara aku tetap diam mematung saja, tidak paham apa maksud ucapan Kak Sakin dan kenapa mereka tertawa.
Lelaki yang kukenal di bibir pantai malam itu, ternyata juga hadir di acara pesta pernikahan Kak Sakin. Dia tidak sendiri, tapi bersama teman-temannya. Pada pesta pernikahan itu semuanya terbongkar, lelaki itu anak didik Kak Sakin di Lingkaran Gajah Wong, sebuah komunitas diskusi dan aksi, terutama konsen pada masalah Gender. Dan kenapa pula saat perkenalan mereka tertawa tanpa aku mengerti, jawabnya karena lelaki selalu bilang bahwa dia hanya baik sebagai suami, tapi tidak baik sebagai pacar. Itu maksud Kak Sakin. Aku pun tak sangggup menahan tawa saat Kak Sakin menjelaskan tentang semua itu.
“Jadi itu prinsip hidup,” gumamku.
Keesokan harinya, aku tidak punya kesempatan lagi bertemu dengan Kak Sakin dan teman-temannya. Pagi-pagi sekali aku diantar ke terminal oleh kedua orang tuaku. Aku harus segera berangkat ke Ibu Kota untuk melanjutkan pendidikanku.
“Kamu harus selalu jaga diri. Dari sini kami dukung kamu.” Sambil meneteskan air mata, ibu mengucapkan kalimat itu. Sebagai anak tunggal, aku menjadi tumpuan harapan orang tua. Mereka melakukan yang terbaik untukku. Aku tentu juga tidak ingin mengecewakan kedua orang tuaku.
“Sekarang aku sudah semester akhir. Sebentar lagi akan menghadapi ujian tugas akhir. Mohon doanya,” tuturku kepada ibu dan bapak saat ditelepon.
“Ibu dan Bapak sudah semakin tua. Kami berharap kamu segera menyempurnakan hidupmu sebagai pelanjut keluarga ini,” tutur ibu.
Aku mengerti apa yang diharapkan kedua orang tuaku. Mereka sangat khawatir kalau aku tidak mendapatkan pasangan dalam mengarungi kehidupan ini. Seperti yang biasa mereka ceritakan di meja makan, mengarungi hidup bersama pasangan lebih mudah dibandingkan sendirian. Jalan hidup lebih lurus dan penuh komitmen. Sementara, hingga kini tak satu pun lelaki yang mengunjungi rumahku untuk meminang. Bukan karena aku tidak menarik, aku perempuan cantik dan cerdas. Itu kata ibu dan bapak sewaktu aku masih duduk di sekolah dasar.
“Kemarin nenekmu tanya, apa kamu punya janji dengan seorang lelaki pilihanmu?” kata ibu.
Aku tertegun mendengar pertanyaan itu. Dalam ingatanku, nenek tidak pernah menanyakan hal seperti itu atau sejenis itu. Biasanya nenekku hanya bertanya, “Kau sudah semester berapa dan kapan lulus?”
Ini bukan tanpa alasan. Suatu waktu, aku pernah mendengar cerita nenek, kalau menjadi nenek itu gampang-gampang susah karena nenek seringkali dijadikan alasan, terutama masalah pernikahan cucunya. “Kau harus segera menikah mumpung nenekmu masih ada, nenekmu juga sudah tua.” Nenek mencontohkan satu alasan yang sering kali mencatut nama nenek.
“Mereka pikir nenek akan mati penasaran kalau tidak sempat melihat pernikahan cucunya,” jelas nenek sambil menyungingkan senyumnya.
“Kalau kau memang sudah punya janji, katakan saja. Tidak usah takut. Katakan juga kepadanya, segeralah datang ke rumah bersama orang tuanya,” kata ibu melanjutkan.
“Kenapa harus begitu, Bu?”
“Sekarang banyak lelaki yang hanya main-main perempuan. Aku dan bapakmu tidak ingin kamu jadi mainan para lelaki. Kamu masih ingat Mina, temanmu saat SD, putri Pak Sutro? Ibu dengar dia punya janji dengan seorang lelaki, tapi lelaki itu tidak kunjung melamarnya dan ujung-ujungnya Mina dikhianati. Lelakinya memilih menikah dengan perempuan lain. Kasihan sekali dia, menunggu tanpa ada kepastian yang ditunggu. Asal kamu tahu, kedatangan lelaki ke rumah perempuannya tanda keseriusan dan komitmen terhadap hubungan,” jelas ibu panjang lebar.
Aku tidak tahu harus menjawab apa dan bagaimana. Kupikir-pikir apa yang ibu katakan, apakah memang hanya pinangan tanda kesungguhan dalam menjalin hubungan? Apakah pinangan benar-benar tepat dijadikan tanda kesungguhan? Apakah lelakiku sama seperti lelaki yang berjanji kepada Mina? Tidak. Lelakiku tidak seperti lelaki Mina. Aku yakin, dia tidak seperti itu meskipun hingga saat ini dia belum meminangku. Aku yakin itu karena aku tahu sejarah hidup dan pandangan hidupnya.
Dia bukan lelaki yang mudah mengumbar janji, tapi tanpa tanggung jawab. Lelakiku pernah berkata, tanggung jawab itu fitrah manusia, bukan sesuatu yang datang dari luar. Tanggung jawab itu keharusan setiap pribadi, bukan karena tekanan sosial. Lagi pula sampai detik ini lelakiku belum pernah ingkar janji. Jadi, sangat tidak mungkin, alias mustahil lelakiku seperti lelaki Mina.
Ah, entahlah. Apa dia memang benar-benar lelakiku atau tidak. Masalahnya kita belum pernah saling menyatakan rasa, apalagi berjanji untuk hidup bersama. Tapi aku yakin, dia akan menjadi lelakiku.
***
Tiga malam yang lalu, tepat saat bulan lurus di atas kepalaku, handphone-ku berdering. Aku mendapat pesan pendek, setelah aku lihat, pesan itu dari ibu. Tidak biasanya ibu melakukan itu. Ibu biasa langsung meneleponku apabila ada sesuatu, sekecil apa pun itu. Aku pun begitu. Tapi waktu itu, nama pengirim pesan pendek yang tertera di layar handphone-ku benar-benar nama ibu. Dengan penuh tanda tanya aku membuka pesan itu.
“Keluarga kita sudah menerima pinangan seorang lelaki untukmu. Kami harap kamu menerima kenyataan ini.”
Aku diam, tertegun, dan tidak percaya dengan apa yang barusan aku baca. Kuulangi lagi, tetap sama. Ini tidak mungkin. Selama ini aku mengenal orang tuaku sangat demokratis. Sekecil apa pun persoalannya, akan dibicarakan denganku, apalagi ini terkait langsung dengan hidupku. Bagaimana mungkin mereka menerima pinangan seorang laki-laki untukku tanpa membicarakannya terlebih dahulu denganku? Apa aku tidak pantas diajak berembuk dalam persoalan ini? Ini hidupku dan akulah yang akan menjalaninya. Kenapa mereka begitu arogan dan angkuh, memutuskannya tanpa diriku?
“Apa aku tak pantas memutuskan pilihanku sendiri atau setidaknya aku terlibat dalam keputusan perihal pinangan?” balasku.
“Bukan begitu. Ini keharusan,” kata ibu.
“Kenapa sampai menjadi keharusan? Ini artinya Ibu dan Bapak tidak percaya kalau aku mampu memilih dan menentukan jalan hidupku sendiri?”
“Ini lelaki pertama yang meminangmu. Pinangan pertama?”
“Apa aku tidak boleh ikut campur kalau pinangan pertama?”
“Pinangan pertama harus diterima. Ini sudah menjadi kepercayaan turun temurun. Pinangan pertama sangkal dan perempuan itu sangkal. Kamu akan dikutu mati perawan kalau menolaknya.”
Aku belum percaya, tapi itu faktanya. Keluargaku masih memegang teguh kepercayaan itu. Seorang perempuan harus menerima pinangan pertama. Perempuan terancam akan menjadi perawan tuan, alias tidak laku dan mati perawan bila tidak menjalankan kepercayaan itu. Perempuan itu sangkal. Bagiku kepercayaan itu mitos. Kepercayaan itu pasti didesain kaum lelaki sebagai perangkap sekaligus penjara bagi perempuan agar perempuan dapat dikuasai dan dikendalikan. Jangan sampai kita teperdaya. Itu mitos yang terlahir dari ego lelaki. Bagaimana aku akan menyampaikan itu kepada keluargaku. Mereka sangat sulit menerima apa yang aku percaya.
Sebab itu, aku putuskan untuk tidak pulang sebelum keluargaku menyelesaikan masalah pinanganku yang sepihak itu.
“Kamu akan menyesal.” Itu pesan terakhir yang ibu tulis dan belum aku balas.
Namun, tadi pagi aku mendapat pesan pendek dari nomor yang sangat kukenal. Ya, aku tidak salah.
“Kenapa kamu tak berkenan dengan pinanganku?” tulisnya.
Membaca pesan itu aku berada di antara percaya dan tidak. Ini bukan lelaki yang aku kenal saat di Pantai Parangtritis. Tidak mungkin. Tapi ini benar nomornya. Ini mustahil meski lelaki itu memang sudah hidup dalam mimpi-mimpiku.
“Aku tidak mengkhianati prinsip hidupku, kita akan langsung menikah,” lanjutnya.
“Ibu, aku tidak percaya bahwa menolak pinangan pertama akan berbuah kutukan mati perawan dan menerimanya berkah kehidupan. Ini mitos untuk menguatkan posisi lelaki saja,” ucapku lirih sembari membalas pesan jawaban atas pinangan lelaki itu.
Tulisan pada website ini merupakan bagian dari proses pendidikan peserta didik di Nurul Jadid. Apabila ditemukan kesalahan atau kekeliruan maka pengelola website ini dapat menerima pengaduan dan mencabut penayangan tulisan tersebut.
0 Komentar